Bekas lukaku menawan. Setiap habis melihatnya aku ingat ikan tilapia yang sedang digoreng untuk kemudian disantap dalam wujud pesmol. Tilapia yang dikeluarkan dari kulkas, dicairkan dalam microwave, dan berair hingga baku hantam dengan minyak panas. Minyaknya tepat sasaran ke punggung tangan kananku. Bekas luka gores yang lebih dulu hadir juga masih menarik perhatianku. Padanya ada tangan yang tersangkut vending machine yang memuntahkan coklat Bueno hingga harus ditarik paksa dan berdarah.
Lain halnya dengan luka-luka yang ada di wajahku. Belum sepenuhnya bisa kunikmati sebagaimana belum sepenuhnya kuketahui darimana asalnya. Yang bersisa hanya analisis kritis kalau asal muasal keringnya merupakan imbas angin dingin yang selalu aku jemput tiap pukul 5 sore, setidaknya selama 15 hari berturut-turut. Mau membebankan perkara pada rangkaian perawatan kulit baruku rasanya tidak sampai hati. Di dahi, di dagu, di pipi kanan dan kiri, wajahku memerah, mengelupas, dihiasi luka lagi silih berganti.
Sebisa mungkin aku menenangkan diri, membuatnya nyaman, terutama si wajah. Kuajak ia berbincang bahwa bersedih tidak apa-apa. Kulit wajah juga dipersilahkan mengusam, mengerut sampai puas, seraya aku tetap membantunya membaik dengan olesan yang diampu bisa mendinginkan, menenangkan, dan membantunya ceria kembali. Aku butuh kerjasama darinya. Sudah kusampaikan juga jangan berkecil hati jika kembali mendengar sapaan orang yang menggemakan lagi kepeduliannya atas wujud kemerahan terutama pada pipi kiri. Kulit wajahku, mereka peduli! Kuharap kamu bisa lebih terpacu untuk membaik karenanya.
.
.
.
Kepada kulitku yang kian hari kian berteman denganku,
Rasa keterimaanku mungkin hal yang baik untuk kebaikan diri kita bersama, namun kuharap tidak melenakan hingga kita berhenti mencari solusi! Aku sayang kulit!!!
Yang dilapisi kulit,
Afi Wiyono.