Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin earphone baruku yang kuniatkan untuk lebih kusayangi dari earphone lamaku yang mulai rusak secara fisik untuk hilang sekejap nggak tahu gimana alurnya, padahal udah kucoba telusurin satu per satu lokasi dan jalur yang kulewati hari ini.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin serum wajah yang lagi jadi favoritku--yang baru kubeli--untuk kesenggol dan tumpah sampai bersisa hampir setengah dalam satu kedipan mata.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin aku telat datang 4 menit ke rumah teater dan nggak ada yang bukain pintu padahal udah kugedor-gedor--padahal ini momen yang paling aku nantikan sejak sepekan sebelumnya--karena harus meeting 10 menit lebih lama dari waktu yang udah kujadwalin sehinga tiketnya hangus begitu aja.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin kartu kereta temanku hilang, disadari saat mau check-out lalu sejam berikutnya datang notifikasi bahwa kartunya dipakai orang ke Groningen--yang notabene jauh banget (&mahal tentunya)--padahal posisi kami ada di Rotterdam.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin jalur kereta tujuan Wageningen down dalam sekejap karena cuaca yang tiba-tiba kayak marah sehingga aku dan teman-temanku yang udah superlelah harus nunda kepulangan.
Gampang aja bagi Tuhanku bikin aku nyenggol gelas yang isinya teh tawar panas yang baru dibikinin temenku sebagai sogokan aku untuk kerja lembur sehingga tumpah, mengguyur laptopku yang udah uzur dan selalu diledekin untuk ganti karena kecepatan kerjanya mulai melambat lalu semua dataku hilang sekejap, termasuk tugas yang harus kuselesaikan saat lembur.
Aku merasa banyak kehilangan. Sebagian dibubuhi rasa miris karena merasa hal-hal itu harusnya nggak hilang tanpa kecerobohanku. Tapi lebih banyak yang dibubuhi rasa marah sama diri sendiri karena mungkin hal-hal itu sengaja dihilangkan Tuhanku karena aku terlalu merasa memiliki.
Tapi,
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin aku bersatu sama teman-teman yang mau belajar banyak, yang mau ngasih aku kesempatan belajar, yang mau ngasih aku ruang, waktu, dan kesediaan untuk belajar banyak sehingga aku merasa bisa lebih sayang sama diri sendiri dan punya rasa untuk lebih banyak menghargai apa-apa yang dikasih Tuhanku, termasuk kehilangan.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk ngegerakkin tokoh-tokoh yang mungkin kalau aku nggak bersinggungan langsung cuman bisa jadi pihak yang aku nggak sukai--semata-mata karena penilaian bobrokku atas keterbatasan informasi yang kupunya--untuk bermitra menuju kebermanfaatan yang semoga lebih besar.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin teman-teman dan supervisor mata kuliah yang aku nggak ngerti sama sekali sejak sebulan lalu (&masih berusaha aku pahami sampai sekarang) punya kelapangan rasa saat aku bilang aku nggak ngerti sama sekali tapi malah izin nggak bisa ikut meeting karena harus ke luar kota ngurusin meeting lain.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin Mbak-mbak penjaja makanan Lebanon untuk mau nerima aku dan temanku makan dine-in padahal awalnya semua orang cuma boleh takeaway cuman gara-gara kami bisa diajak ngomong bahasa Arab klasik sebatas syukron, masyaaAllah, afwan.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin seorang yang asing di stasiun tiba-tiba nawarin aku dan teman-temanku pulang naik mobilnya sampai stasiun kota kami saat semua sistem kereta dan bus tujuan sana down akibat cuaca buruk cuman karena saat dia butuh powerbank untuk handphonenya yang nyawanya bersisa 3%, aku bisa pinjemin.
Gampang aja.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk ngasih jalan hidup bagiku yang isinya hal-hal mesti aku proses.
Aku merasa dapat banyak. Merasa disayang karena dikasih Tuhanku jalan cerita yang isinya hal-hal--yang aku sebagai manusia--nggak bakal kepikiran untuk aku jalanin. Aku dapat terlalu banyak.
Yang paling utama,
Aku dapat alasan kuat untuk semakin merasa kecil karena aku cuman makhluk. Dapat pembuktian kuat kalau konsep rezeki itu ghaib. Tuhanku nggak pernah bocorin ke aku sebelumnya. Yang pasti, semuanya cukup, tepat takarannya, pada waktu dan tempat yang pas.
***
Sekarang aku lagi di kereta, menuju Leiden, mau ke museum. Awalnya janjian di stasiun sama dua temanku yang lain di stasiun Ede dan selanjutnya janjian di stasiun Leiden sama temanku lainnya yang tinggal di kota lain. Tapi kedua temanku terlalu lelah dan nggak bisa datang.
Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin aku tiba-tiba keluar kota sendiri. Gampang aja bagi Tuhanku untuk bikin aku mau nulis postingan ini padahal aku males, walaupun aku tahu aku sebaoknya nulis ini.
Kepada Tuhanku,
Terima kasih banyak.
Sayang banget banget banget dari aku,
Afi Wiyono