Kalau mataku kini nggak benar-benar merasa dimanja sama warna-warna tertentu. Misalnya, warna yang dipakai Vincent sebagai palet lukisan bunga poppy. Aku malah dibuat takjub-setakjub-takjubnya sama lukisan Paul Signac. Awalnya enggan kedip, berlanjut kedip berkali-kali buat memastikan kalau yang aku lihat memang semenakjubkan itu.
Mungkin aku yang berubah selera, mungkin cuma hari kemarin.
Nggak tahu juga.
Tapi hari kemarin--yang isinya tiga museum dan satu restoran--kalau dibuat papan suasana hati isinya karya Paul Signac.
Aku punya kabar lagi.
Kalau kamera smartphoneku nggak bisa mengabadikan betapa mahakaryanya lukisan-lukisan yang aku lihat kemarin. Juga hasil cetakan komputer yang kubeli berupa kartu pos, sama sekali nggak menangkap esensi betapa titik-titik yang ada di lukisan Paul Signac maupun detil gagang pisaunya Clara Peeters bisa bikin aku terheran-heran sama manusia.
Cassis, Cap Lombard (1889)
Jelek banget sih fotonya. Padahal pas lihat langsung aku mau nangis rasanya.
Museum ketigaku kemarin bekas rumah orang kaya, Gubernur Dutch-Brazil: Mauritshuis.
Gedongan banget rumahnya. Tapi aku sih ogah kalau ditawarin rumah begitu.
Hehe.
Mesti dingajiin dulu sekampung rumahnya.
**
"Sendiri aja, Neng?"
"Iya, soalnya kalau di museum kan diem aja."
"Kurang Banten kalau diem aja."
-- Percakapan sama Aki, di Warungnya Aki.
Warungnya Aki cuman beda dua halte tram dari museum keduaku.