Oct 28, 2014

Kiri, Kanan, Kulihat Saja Banyak Pohon Cemara

Bukan kok bukan, saya benar-benar nggak berniat untuk cerita tentang salah satu lagu yang mengandung wawasan bagi saya sewaktu TK. Hebat ya, jadi tahu kalau ada pohon cemara yang termasuk monokotil di perjalanan ke gunung. Itu loh yang tinggi itu, yang reproduksinya pakai strobilus. Ah iya, sok pintar.

Ngomong-ngomong soal pintar, entah kenapa saya mau banget jadi orang pintar. Keinginan saya bertambah besar setelah jadi utusan alias penjaga stand SEAFAST di Food Ingredients Asia (FIA) 2014. Oh iya, di post-post sebelumnya saya bilang kalau postingan tentang FIA sampai sekarang belum ke-posting alias statusnya masih "publishing" di aplikasi blogger saya. Entahlah banget sih, saya juga nggak paham sekarang tulisan itu ada di mana. Hilang begitu saja.

Yang datang ke FIA bukan orang biasa. Ah, berlebihan. Biasa aja sih sebenarnya. Saya merasa sangat duh-sumpah-cere-banget, dangkal sedangkal-dangkalnya karena ilmu saya jauh dari apa yang diharapkan society (apa sih bahasa indonesianya society? cetek banget sih Fi, pengetahuan diksi minus). Saya sebagai mahasiswa pangan kok rasanya minus banget akan hal-hal tentang pangan. Pikiran saya belum terbuka bahwa banyak sekali, benar-benar banyak sekali aspek kelimuan yang dibutuhkan untuk menjadi 'pekerja pangan'. Ah, saya nggak mau bicara tentang pangan juga sebenarnya. Pokoknya saya mau pintar kimia, analisis, ekonomi, tekonologi flavor, paham tentang regulasi, jago public speaking, dan saya juga mau jago main piano. Nggak nyambung ya. Saya mau cerdas deh intinya.

Oh iya, kalau mau jadi cerdas begitu pakai otak lobus yang mana, ya?
Iya, saya mau ngomongin otak. Kanan atau kiri. Kanan dan kiri. Kiri kanan kulihat saja. Huf.



Saat SMA, yang menurut saya telah memberi saya amat sangat super banyak sekali pelajaran tentang manusia, saya jadi paham bahwa tiap orang memang ditakdirkan menjadi cerdas. Perlu digarisbawahi kalau tentang manusia itu bukan pelajaran Biologi ya, kalau itu sih saya jarang belajar. Kehidupan sehari-hari saya dihiasi oleh orang-orang yang cerdas!

Ada Feisal yang subhanallah musisi sekali. Ada Nana yang juga subhanallah musisi plus positive person. Ada Vena yang enak diajak diskusi tentang banyak hal karena wawasannya yang superluas. Ada Imon yang cocok banget buka usaha bimbel sendiri. Ada Risyad yang rupawan dan jago main basket tapi sangat kompetitif. Ada Edo yang tinggal kelas karena ikut program pertukaran pelajar ke US. Oh iya, Edo juga kompetitif banget. Ada Cesil yang, ah sudahlah nggak usah dipertanyakan lagi dia bisa masuk fakultas kedokteran atau nggak. Ada Regina yang di kelas X nilai sainteknya di bawah rata-rata tapi pas masuk IPS jadi paralel satu dan jadi kapten modern dance HAHAHA. Dan masih banyak lagi yang cerdas-cerdas. Gila, indah-indah sekali.

Saya merasa kehidupan di SMA lebih banyak kedamaiannya karena rasa menghargainya lebih tinggi dibanding kehidupan sosial saya di kampus. Nggak deng, di kampus juga damai kok. Tapi, saya sempet rada nyinyir karena ada orang yang mengecap dirinya hebat karena bisa memanfaatkan otak kanannya (doang). Huf, selamat ya, Sob. Ada juga yang pursuing penggunaan otak kanan biar antimainstream, biar out of the box, biar beda. Yah sob, kok mau jadi beda banget sih?

Saya nyinyir sama orang yang begitu. Masalahnya, niat dia adalah menjadi beda. Ini jelas sekali biar dia punya kunci determinasi dan bisa jadi menonjol dibanding yang lainnya. Show off. Kurang natural sih kayaknya. Dari yang saya lihat, dia bakal analisis dulu bagaimana orang-orang di sekitar dia lalu dia bakal nyoba untuk melakukan hal yang berlawanan. And then he would brag a lot "gue mah antimainstream," atau "gue sih nggak kayak orang lain, gue out of the box," uh selamat ya. Saya aja malah nggak tahu yang ada di dalam kotak itu yang gimana. Makin banyak aja orang yang kayak gini. Sampai saya pikir being the so called antimainstream is mainstream somehow.

Lalu si orang-orang ini juga mengecap mereka yang rajin belajar saintek alias pakai otak kiri adalah mereka yang tidak punya kehidupan dan susah suksesnya. Ah kamu, kok begitu sih. Iya oke, sejarah membuktikan bahwa yang terkenal dengan karyanya itu lebih banyak dari kalangan 'pengguna otak kanan'. Ya katakanlah karena mereka menggunakan sisi artsy dan kreativitasnya. Namanya juga kreativitas, ya pasti menghasilkan lah ya. Tapi coba lihat lagi, otak kiri juga diperlukan, Sob. Otak kiri punya banyak andil dalam kemajuan taraf hidup termasuk kesejahteraan kita.

Lah, lo pikir ngebuat software yang lo pake untuk ngedesain karya-karya lo yang superokeh nggak perlu bantuan otak kiri? Lah, lo pikir konsep kerja kamera lo yang bisa nangkep momen-momen dramatis dibuatnya nggak pake bantuan otak kiri?

Saya nggak setuju bahwa mereka yang dominan otak kanan lebih baik dalam segala hal dibanding mereka yang dominan otak kiri. Complementary completed.

Jadi, tolong sekali. Stop judging those who seem unlikely to use their right brain is cheesy when you are still not using your left brain, indeed. Selamat karena kamu bisa pakai otak kanan kamu sehingga namamu dipuja sana sini. Selamatin juga dong orang yang IPK-nya 4. Itu prestasi juga loh.

Tapi terserah sih, mungkin kamu memang begitu. Katanya kan kita harus jadi diri kita ya.
Selamat saling menghargai.
Ah, kok saya nyinyir banget sih, otak mana nih yang nyinyir?!
Haya/Afi| 2008-2022