Dec 4, 2015

Pintar dalam Tanda Kutip

Saya sedang di kelas Evaluasi Sensori saat ini. Pak Budi selalu sistematis menjelaskan tentang panelis, sampel, beserta olahan data dengan statistika terkait tes sensori. Pekan lalu saya skip kelas ini bersama Brian untuk sekadar icip-icip tahu pong dan wifi hotspot berbayar di department store dekat kampus. Berniat hanya skip satu kelas, kami terlalu asik hingga skip kelas berikutnya.

Tadi pagi saya skip kelas Sistem Jaminan Halal karena mau berlama-lama mengerjakan tugas lain di kamar sewa. Brian juga skip lagi.

Di luar kelas, kami banyak bicara akan hal yang lebih relevan dengan 'hidup' dibandingkan saat di dalam kelas. Salah satu konsekuensi ikut terlibat dalam program pendidikan formal adalah kami tidak bisa benar-benar memilih pembelajaran apa saja yang benar-benar diinginkan untuk melanjutkan hidup yang diimpikan. Tetapi, kenapa perguruan tinggi begitu diminati? Toh, jalur luar kelas bisa mengajarkan lebih banyak hal akan 'hidup' itu sendiri.

Maaf ya, kebiasaan menulis prolog yang tidak akan berkesinambungan.

***

Benar adanya kalau saya ingin menjadi orang ahli dalam bidang pangan. Ahli pangan terdengar krusial mengingat permasalahan pangan terlalu cepat berkembang. Orang-orang ahli ini yang ingin dicetak oleh perguruan tinggi. Mereka yang seakan selalu dianggap tinggi, tahu banyak, berlebih, dan acap kali overrated.

Kejadian luar biasa dianggap tidak biasa karena di luar kewajaran. Kejadian luar biasa, hanya dengan namanya saja dianggap tidak semestinya terjadi. Mungkin orang-orang yang dinilai overrated teranalogi dengan kejadian luar biasa ini. Orang "pintar" itu (masih dianggap) luar biasa. Menjadi salah satunya berarti telah melewati batas kewajaran, batas semestinya, dan jangan-jangan dinilai tidak seharusnya terjadi. Sadar tidak sadar bisa jadi hal ini sudah terpatri dalam hidup kita.

Kalau benar itu terjadi, pantas saja kalau tidak banyak dari kita ingin menjadi "pintar", menjadi lewat dari batas kewajaran, dan batas semestinya. Pantas saja kita sering terlena menjadi 'tidak pintar' karena di dalamnya lah kita menjadi wajar. "Batasan" yang entah seberapa lebar membelenggu itu mungkin cukup tebal untuk ditembus walau sebenarnya bisa. Harusnya kita ke luar sana bersama-sama agar kita punya kewajaran yang baru.

Menjadi pintar. Bersama-sama menjadi orang-orang yang tadinya dinilai overrated sehingga lepaslah predikat itu. Lalu nantinya menjadi pintar itu adalah suatu kebiasaan, wajar, dan biasa saja. Bukan lagi menjadi momok besar yang justru menakutkan.

Oh ya, saya tidak bicara soal menjadi arogan lho. Saya juga tidak menyoal betapa perguruan tinggi sangat signifikan mencetak orang-orang pintar. Sekali lagi, pintar dalam tanda kutip, bukan arogan.

If one says "don't believe the hype", that would be fine because we are that hype. We devote too much and rely most of the times on it. That would be fine. Be "smart", whatever you are. 

Pintar saat menjadi apa pun. Jadi makhluk bebas itu salah satu indikator, saya rasa.


Hehe ngomong apasih.

Yang sedang menunggu detik-detik kembali tinggal dengan orangtua dalam keseharian kuliah,

Afi Wiyono.

Haya/Afi| 2008-2022