Dec 13, 2017

Ini Berakhir dan Bukan Bersambung

Tulisan ini tentang pertemuan tanpa kelanjutan cerita.

Dua minggu lalu, saat sedang menikmati bulan dari sebuah menara kincir angin  bersama seorang teman, aku mendengar lantunan azan. Yang benar saja, kurang dramatis apa lagi momen itu? Di Jepang, sedang supermoon, dingin, dan menara kincir angin saja sudah membuat soreku beromansa. Lalu, ada lantunan azan? Bercanda.

"Bukan handphone gue, Fi."
Sama dong," jawabku.

Setelah memutuskan untuk turun dari menara, seseorang menyapaku dan temanku di dekat tangga.
"Salam'alaikum," ujarnya sambil tersenyum. Ashif namanya setelah kami tahu lebih jauh. Seorang muslim asal Kashmir, sebuah tempat dekat India. Sudah 3 tahun tinggal di Jepang untuk membangun usaha otomotifnya. Oh ya, tentang azan. Itu dari handphone Ashif sebagai tanda sudah waktunya maghrib. Ashif ingin tahu bagaimana kami biasanya membeli makan yang jarang halal jika itu daging-dagingan. Ia juga ingin tahu apakah kami bisa hidup tanpa memahami nihongo.

Singkat cerita, kami sama-sama harus pergi karena tidak ada pilihan untuk bersama.
Rasanya aneh. Seperti memang berkenalan untuk berpisah. Aku lantas merenungkan, apa memang pertemuan seperti ini banyak terjadi di dunia? Aneh.

.
.
.
.

Aku dan dua orang temanku dapat kesempatan menyaksikan presentasi mengenai serba-serbi Jepang oleh siswa siswi kelas 4-1 sebuah sekolah dasar milik pemerintah di Ryugasaki. Menarik karena durasi tiga minggu dialokasikan untuk menyambut kami. Aku suka semuanya. Aku suka penjelasan tentang patung ikan di kastil, cara membuat tempura, catur a la Jepang, juga kuis-kuis singkat yang dilontarkan. Aku suka wajah percaya diri, wajah sakit perut karena tegang, dan juga wajah yang tidak melucu pun tetap seperti berkelakar layaknya wajah Haruto.

Aku suka Haruto.
Jika dunia ini bekerja secara aneh, maka hal yang akan ku lakukan adalah bilang padanya "Kamu, aku rekrut jadi adikku. Just because. And full stop." Lalu, Haruto secara resmi jadi adikku dan melanjutkan studi di Jakarta.

Tapi, kenyataannya dunia ini ternyata tidak terlalu aneh kan? Maka aku hanya merasakan perasaan menyenangkan itu dan makan siang bersama Haruto beserta ketiga temannya. Pada nampanku ada sepotong ikan yang (sayang sekali) kecil, semangkok nasi, dan sup miso. Di luar itu ada sekotak susu, sedotan, dan sumpit. Haruto bertugas menyiapkan sup miso untuk semua orang di kelas 4-1.


Aku menyantap ikan dan nasiku. Haruto sambil berbincang dengan Aoki mulai meminum susu. Selanjutnya, kami semua mencoba berbincang.

"#_€}%!£¥€[€]^\' ??" tanya Haruto padaku.
"&/'xbjaksjknjskow>|€%_£?" tambah Ramu sambil turut penasaran.
Aku hanya bisa bilang apa dan meminta maaf karena tidak mengerti.
"):!$-$:$&:&:&:&"
")/!666)1'kljaha??" 
")/)?$$:',qoahsjs?" ujar Aoki sambil menggerakkan tangannya sebagai isyarat.
Haruto lalu mengeluarkan buku tulis dari dalam tasnya. Selanjutnya ia menggambar rumah dan sebuah persegi panjang.
"Gomenasai, sumimasen, nihongo wakaranai" ujarku mengeluarkan kalimat andalan disertai rasa sedih.

Aku menyesal tidak benar-benar belajar saat dapat pelajaran bahasa Jepang. Aku sungguh ingin berbincang banyak, aku sungguh ingin bagai gayung bersambut, balas-balasan dengan anak-anak yang sangat menyenangkan ini.

"Sensei........." rengek Haruto sambil mengunyah nasi. Sensei yang tidak kunjung merespon membuatnya merengek lebih kencang "Senseeeeeeei!". Lalu, Sensei meresponnya dari meja seberang. Singkatnya, Sensei menerjemahkan apa yang sejak tadi mereka tanyakan.

"He said, do you have homeworks in Indonesia?"

.....................
Aku suka mereka semua.
"Aaaaaah, yesss, I have a lot of homeworks back then!" kataku sambil memeragakan tumpukan kertas dengan kedua tanganku. "You??" tanyaku yang menjadi sangat penasaran bagaimana bisa dari semua pertanyaan yang biasa dijadikan basa basi perkenalan, Haruto justru bertanya tentang pekerjaan rumah.

"Hai, chotto" jawabnya seraya menunjukkan buku tulisnya yang berisi hitung-hitungan.

Moment of winning, I was certainly on that moment.
Beruntung aku punya aplikasi penerjemah. Ingin kuucapkan banyak terima kasih kepada pengembang aplikasi Google Translate.

Kami semua lalu saling tanya tentang warna kesukaan, pelajar kesukaan, dan hal remeh temeh lainnya.

Pertemuan itu aku abadikan dalam sejumlah gambar. Sayangnya Haruto tidak ada di sana. Ia melangsungkan pekerjaannya untuk merapikan peralatan makan. Ia juga sempat menyuruhku bangun dari kursi karena kursinya mau ia rapikan sampai akhirnya Sensei justru mengomelinya karena aku harusnya masih tetap bisa duduk di situ.

Tidak lama setelah itu, kami harus berpisah.
Sedih? Iya.
Tapi saat itu semuanya juga masih terasa menyenangkan maka aku tidak menangis.

Aku baru menyadari bahwa kemungkinan aku bisa bertemu dengan Haruto dan teman-temannya lagi adalah teramat kecil. Ternyata, ada ya pertemuan yang memang pada saat itu juga harus diakhiri. Lalu menyisakan hanya segelintir ingatan berupa nama dan kejadian. Aneh. Apa iya di dunia ini banyak pertemuan macam ini?

Aneh.
Tapi tidak terlalu aneh.

.
.
.
.

"We have messages from elementary schools students in international lounge. Come if you have time!" ujar Madoka lewat pesan singkat di grup. It is strange somehow, this is somehow a-too-good news for me. Lalu berubah menjadi sesuatu yang sangat indah saat menemukan pesan Haruto yang disertai  nama lengkapnya. Lalu, aku bisa apa? Cuma menjadi senang saja kan?


Mengakhiri tulisan ini,
Afi Wiyono


P.s.
Foto bersama siswa siswi yang menyenangkan tidak dapat diunggah tanpa sensor pada wajah mereka semata-mata demi keamanan. Untuk itu aku lebih memilih tidak mengunggah satu pun gambar.
Haya/Afi| 2008-2022