Apr 13, 2018

Sesuatu yang Tinggi pada Suatu Akhir

"Udah dijanjiin sama Tuhan, kamu lupa ya?"
"Perihal yang mana?"
"Soal berilmu,"
"Kenapa? Diangkat derajatnya?"
"Iya, yang itu. Tuh tahu."
"Siapa juga yang bilang lupa?"
"Kok seakan bingung saat di perjalanan menuju cita-cita?"
"Ha?"
.
.
.

Aku lihat kamu bingung. Kamu pikir jalan harapanmu akan jauh sama sekali dari realitas. Mau tempuh jalan yang kanan, kamu tidak acuh sama sekali dan punya pikiran buruk sama sekali dengan jalan sebelah kiri.

Padahal sudah ada yang bilang kalau jalan kiri, itu semua soal pintu gerbang. Jalan kanan juga soal pintu gerbang. Yang namanya destinasi, dia bukan tentang persimpangan.

Seakan belum pernah memilih jalan, kamu mau seenaknya menghakimi jalan kanan dan kiri yang sekarang jelas nyata sebagai pilihanmu. Memang, bagi orang-orang yang selama ini tidak sepenuh hati mengadakan perjalanan, lupa adalah temannya. Lupa sudah berapa persimpangan yang ditemuinya, lupa sudah berapa kali memutuskan belok kanan, belok kiri, atau lurus sekali lagi. Lupa rambu apa yang harus dipertimbangkan.

Saat sadar sedang di sebuah perjalanan, simpangan selanjutnya--yang mungkin simpangan ke-21 atau ke-22--dianggap sebagai simpangan pertama penentu selamat tidaknya hidup, tercapai tidaknya destinasi.

Meski yang aku paparkan seolah masalahmu cuma tentang persimpangan, kamu tahu sebenarnya ada juga soal jalan terjal, jalan berbatu, jalan licin yang menjadi bagian dari perjalanan. Pun soal cita-cita yang dipasang setinggi-tingginya.

Benarkah itu destinasimu?

Kalau dia tinggi, kenapa kamu bingung bahwa sebagaimana pun dihindari, akan selalu ada jalan menanjak atau tebing yang harus dinaiki?

Kalau dia rendah, kenapa kamu sebut dia cita-cita? Kenapa pula cita-cita itu jadi destinasi?

Kalau kamu percaya Tuhan, dimana Dia berada? Kenapa Dia disebut Mahatinggi?

Kamu lupa tentang janji Tuhan pada orang berilmu. Sekali lagi aku katakan: Kamu lupa tentang janji Tuhan pada orang berilmu.
.
.
.

"Tidak. Aku tidak lupa"
"Apa kata Tuhan lewat pengirim pesanNya?"
"Allah akan menaikkan derajat orang yang berilmu."
.
.
.
Kita memang belum pernah benar-benar menghayati yang satu ini. Tapi kamu sedari kecil, sedari masih di persimpangan ke-1 sudah diberi bekal kata-kata.

Cita-cita itu yang tidak berbatas. Setinggi-tingginya! Sampai ke Arsy! Itu tujuan kita bersama. Tuhan bersemayam di atas sana.

Bagaimana cara bertemu Tuhan?

Oh tentu, secara logis dan empiris hanya orang-orang yang mau buah mangga di pekarangan rumahnya aman dari codot yang akan dengan sukarela mencari pijakan yang tinggi dan membungkus satu per satu mangga dengan koran atau plastik.

Dia akan menjadi orang paling puas sedunia jika mampu melangsungkan niatnya sendiri. Jikalau tidak, dia butuh representatif yang bersedia membantu. Kalau representatif yang dia pilih hobinya mengeluh, skala puas jarang menjadi penuh.

.
.
.

"Tulisan ini menjadi panjang, perjelas sekarang juga!"

.
.
.

Tuhan, secara hakikat adalah Mahatinggi. Tuhan bersemayam juga di tempat yang tinggi. Tuhan seharusnya jadi destinasi. Jadi tujuan. Jadi akar dari segala niat.

Kalau kamu memang mau akhir paling membahagiakan dan paling memuaskan di episode hidup jilid 1, jadilah bahagia! Jadilah orang itu: orang yang memang punya niat, punya dorongan bertemu Tuhan karena itu memang keinginanmu.

Jadilah berilmu, karena Tuhan berjanji, itu yang akan mengangkat derajatmu. "Angkat"? bukan kah itu ke atas?
.
.
.

Selamat selalu mencari ilmu sebagai bekal menuju kepadaNya. Cita-cita memang bukan untuk dicapai hari ini. Cita-cita adalah tentang akhir yang kekal dari sebuah perjalanan, bukan persimpangan.

Kalau lelah, jadilah berilmu! Dia mengangkatmu. Jangan takut belajar banyak, karena untuk apa?

Sekali lagi, miliki kalimat yang menenangkan: ilmu yang bermanfaat--apa pun itu--adalah bahasa kita untuk menerjemahkan ke-Maha-annya.

Bisa jadi kamu akan perlu kembali mengingat sesering-seringnua dimana 'letak' cita-citamu. Agar kamu kembali sadar hakikat diangkatnya derajat orang-orang berilmu.

Afi, selamat selalu (mau) mencari ilmu! Selamat selalu yakin memilih jalan pada sebuah persimpangan!

Haya/Afi| 2008-2022