Pada hari yang terlalu panas ini, saya mengurungkan niat untuk bilang kalau Matahari Department Store lagi buka cabang, karena selain itu bahan melucu yang sudah lama beredar, Matahari sekarang lebih repot mengurus dua platform belanja daringnya yang sering ada potongan harga untuk barang-barang kategori fashion, dibanding buka cabang berupa toko fisik. Bye.
Saking panasnya sampai senggak-seru itu paragraf pertama.
Saking panasnya, saya memilih meninggalkan antrean panjang untuk refund (apa kata yang sepadan untuk ini, tolong? Saking panasnya sampai nggak pengin buka Google, ya Allah) tiket kereta dan merelakan Rp10.000 untuk sementara. Mesin otomatis nggak bekerja di Stasiun Pondok Cina siang ini, oh, mengapa???!!
Saking panasnya, saya ditolak dua ojek online. Eh, nggak ding. Yang ini mungkin karena saya memilih metode pembayaran tidak tunai sehingga tidak diperhitungkan oleh driver.
Hal ini berujung dengan saya yang jadi banyak pertimbangan:
Apakah saya perlu mencoba memesan ojek online untuk kali ketiga?
Apakah saya perlu memilih metode pembayaran tunai supaya menarik para driver?
Apakah saya perlu mempertimbangkan hal ini lebih lama lagi?
Lalu, angkutan kota nomor 112 yang masih kosong datang dan melipir, sambil si Abang berteriak "Kampung Rambutan, Kampung Rambutan!".
Siapa peduli soal Kampung Rambutan kalau sampai Cibubur saja sudah cukup? Oh, tentu mereka yang ingin ke Kampung Rambutan saangat peduli soal itu. Saya putuskan untuk masuk ke moda transportasi beroda empat itu, duduk di samping Pak Sopir yang sedang bekerja.
Tetapi, hari masih panas. Butuh 12 penumpang lagi agar angkutan ini berangkat. Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Pada tulisan ini, anggaplah saya sebagai orang pertama yang tahu hanya hal-hal yang selayaknya diketahui subjek yang mengalami realitas, maka saya jawab: saya tidak tahu saat itu.
Sebagai manusia yang gemar pusing dengan pilihan-pilihan yang hidup tawarkan, saya kembali putar otak:
Apakah saya akan tetap menunggu hingga angkutan ini berangkat?
Apakah saya lebih baik naik taksi online?
Apakah naik taksi online dan bayar dengan uang tunai lebih menguntungkan dibandingkan dengan naik taksi online dan bayar dengan voucher yang bisa saya dapatkan kalau menukarkan poin sebesar 1530?
Apakah naik taksi online yang secara standar memiliki pendingin akan lebih nyaman dibandingkan naik angkutan kota yang jendelanya dibuka lebar-lebar? OH, TENTU SAJAAA, MARI KITA LAKUKAN!
Jari saya siap sedia membuka aplikasi dan sudah yakin memilih opsi penukaran poin agar dapat voucher. Ya, mari pulang tanpa mengeluarkan uang sepeser pun sambil ditemani pendingin di taksi online.
Saya akan menang banyak hal dengan menaklukkan panasnya siang ini dan naik Toyota Avanza kalau saja si Abang tidak serta merta berkata: "Alhamdulillah ada rombongan ibu-ibu keluar stasiun, gitu emang Mbak rezeki nggak ada yang tahu," sambil tersenyum lega.
Waduh, Abang.
"Mbak mau ke Kampung Rambutan, ya?" katanya. Setelah menjawab kalau saya ingin ke Cibubur, saya tutup apikasi taksi online.
Apakah saya merupakan 1 dari 13 orang yang termasuk rezeki bagi si Abang? Ya, untuk kali ini.
Hhhh.
Hhhhhhhh.
Saya terharu. Sudah lama tidak dapat momentum menyentuh seperti ini. Mungkin iya, teknologi membuat saya terlena untuk selalu mau diuntungkan secara maksimal, bukan optimal. Selalu mau diuntungkan secara materiil, melalui variabel-variabel yang berwujud.
Kepada Tuhan yang mengatur apa pun, termasuk kapan waktu yang tepat bagi sebuah teknologi diluncurkan, tolong hindarkan saya dari kecenderungan untuk tidak menghargai hal-hal yang tidak berwujud, seperti kepedulian dan keikhlasan.
Kepada Tuhan yang mengatur apa pun, termasuk suhu siang ini: Terima kasih masih memberi saya kesempatan untuk rela panas-panasan.
Alhamdulillah sampai rumah dan ada teknologi berupa pendingin ruangan,
Afi Wiyono.