Mar 9, 2019

Antisipasi Masa Depan

Kemarin, si Aku ditanya begini: "Haya, kenapa orang optimis?"

Aku diam saja sih saat kalimat tanya itu ditinggal begitu saja.

"HAYA!"
"Iya aku denger, tapi emang pertanyaannya udahan?"
"Udah"
"Udah apa?"
"Udah gitu aja"
"Hahahahhaahahah"
"Hahahahahahhahahaha"
"Hahahahahahahhahahaha"
"Hahahhahahahahahah bacot"
"Sad, kasar..."

Kira-kira begitu deh percakapan pembuka antara aku dan Mas Teman. Kusebut Mas Teman karena ada dua alasan: tidak mau menyebut namanya dan memang teman.

Aku merasa kalimat tanyanya agak sumbang, sih. Setelah aku pastikan, Mas Teman cuma ingin tahu pendapatku mengapa orang-orang menyukai perasaan optimis.

"Kamu yakin mau tahu jawaban dari aku, Mas?"
"Ya"

Lalu aku pikir-pikir sejenak. Aku sih bukan sedang berpikir dalam memilih sikap sebagai jawabannya, melainkan berusaha memilih kata yang enak dilontarkan saja agar maknanya sampai.

"Aku lebih suka optimis dibanding pilihan lainnya," ujarku menyusun kalimat satu pada paragraf satu.

"Aku tahu, Haya. Makanya aku tanya."
"Itu pembukaan. Kenapa sih buru-buru?"
"Ya soalnya aku mau tahu," jawabnya.

Kami menghentikan aktivitas yang sebelumnya kami langsungkan: merevisi sejumlah dokumen untuk keperluan pengetahuan produk.

"Masih ingat nggak hal yang paling penting bagiku?" Tanyaku melanjutkan.
"Apa? Kepercayaan?"
"Iya, bosen nggak kalau aku mau pakai alasan itu lagi?"
"Apa urusannya aku bosen atau nggak dengan pendapatmu?"
"Nggak ada. Kalau Mas jawab bosen aku bakal bilang: aku nggak peduli hehehehehehe. Lalu aku bakal tetap lanjutin jawabanku."

Pada raut wajahnya aku kembali mendapatkan pesan serupa seperti sebelumnya: "Bacot Haya".

****

Walaupun aku sering dijahatin karena mungkin itu balasan setimpal dari kejahatanku pada Mas Teman ini, aku sejauh ini selalu menyukai sesi diskusi dengannya. Bagaimana bisa aku nggak suka dengan lontaran pertanyaannya yang seringnya spontan namun bisa jadi bahan refleksi untuk diriku? Ugh, Tuhan baik banget mengirim orang macam dia ke lingkaranku.

Jadi, kubilang pada Mas Teman bahwa bagiku optimisme itu bongkar pasang, bukan sesuatu yang melekat sedari awal pada seseorang. Bagiku, memasang optimisme dalam keseharianku merupakan wujud kesadaran atau dalam kata lain aku memilih untuk memasangnya.

Kukatakan juga padanya kalau dalam keyakinanku, optimisme adalah miliknya orang yang beriman.

Ini kalimat tesisku: "Aku mau masuk golongan itu. Aku mau makanya aku memilih optimis, Mas."

"Why, Haya?"

"Udah mentok, Mas. Soal kepercayaan, soal mengimani, dan soal berusaha tetap mengimani. Aku percaya kalau yang sudah ditetapkan bernilai baik dalam keyakinanku adalah yang berhakikat memiliki nilai baik

Ini pengalaman pribadiku, sih. Kalau memang cara manusia mendefinisikan optimisme sebagai negasi dari pesimisme, jujur saja deh, mana yang lebih membuat nyaman? Aku sih seringnya sedih kalau pesimis dan ini sungguh menggangguku." Hihi ternyata bicara seperti itu saja kalau ditulis bisa jadi dua paragraf, ya.

"Tapi, Haya.." Mas Teman mencoba menyisipkan pendapatnya. "Optimisme bikin kita nggak realistis. Pesimisme lebih berpotensi aman. Ya nggak nyaman, sih.." lanjutnya.

Eumm, aku jadi ragu saat itu.

Tiga menit berikutnya, kami mencoba membatasi diskusi dengan memberi batas pada kata optimisme dan pesimisme itu sendiri.

Anggaplah ada sebuah garis lurus horizontal, panjangnya tidak ditentukan. Baik, ujung kiri garis kita beri nama pesimisme, sedangkan ujung lainnya ada optimisme. Sebuah titik di tengah kita namakan....

"Realitas?"
"Bebas sih, panda juga boleh"
"Kenapa panda?!!!"
"Ya bebas, yang penting kita mengerti definisinya pada konteks ini, sih.."
"Realitas."
"Eum, oke, realitas. Setuju."

Lalu kalau kita sedang di titik realitas dan mencoba ke titik pada sebuah axis, maka.... Eummm maka aku nggak mengerti apalagi permisalannya.

"Mungkin memang kurang pas permisalannya?" ujarku. Aku dan Mas Teman kembali merokonstruksi.
"Ribet deh, Haya ah!"
"Ya namanya juga diskusi!"

Selang beberapa waktu--yang ternyata tidak terlalu lama, kok--kami sampai pada kesimpulan. Keduanya hanya cara untuk mengantisipasi masa depan yang sebenarnya sih sama saja. Kukatakan sekali lagi: sama saja.

Saat memilih menjadi optimis kita akan menyusun langkah agar hasil-hasil terbaik. For the sake of goodness.

Sementara itu saat memilih pesimisme kita akan menyusun langkah agar tidak bertemu hasil-hasil terburuk. For the sake of goodness.

Ujung-ujungnya, kita akan bertemu pada realitas kok. Oh ya, kalau di kepercayaanku juga sih realitas itu sendiri akan sesuai dengan prasangka pribadi. Jadi, ya kongruen dan valid saat dibilang kalau optimisme adalah salah satu tanda orang beriman.

O gituu.

Yhaaaaa.
Kalau kita setuju tentang menggantungkan cita-cita setinggi bintang sehingga saat jatuh masih ada kemungkinan di awan, kenapa pula memilih pesimisme?

Awkwkwkwkwkwkwkwk dah deh. Habis itu aku dan Mas Teman diterror deadline.

.
Semoga kita bisa melihat bintang-bintang,
Eak,
Afi-pengennya optimis-Wiyono

Haya/Afi| 2008-2022