Dear Mikel,
Setiap dari kita berupaya untuk tetap hidup, termasuk aku. Termasuk kamu yang dengan lendir dalam saluran pernapasan, sejak kali pertama kita kembali bertemu. Kamu terlihat tua dan tidak prima. Layaknya kamarku, pianoku, dan hal-hal kusam di tempatku.
Aku marah pada hal-hal usang karena tidak membersamaiku yang kala itu merasa telah menjadi lebih baik sehingga aku kembali. Hehe, padahal aku sadar kalau-kalau semuanya semu dan tidak terlalu jujur. Marahku adalah pada kepayahanku dan masih tentang kecewanya aku atas diri sendiri.
Bahwa sejauh apa pun aku dipaparkan pada kemungkinan-kemungkinan di beribu kilometer sana, aku tetap tidak selalu siap menyelesaikan masalah. Salah satunya, untuk menerima bahwa kamu menghirup oksigen, kamu berumur, dan kelak berkerut. Juga tentang makhluk yang tinggal bersamamu sehari-hari selama aku jauh di sana. Hal-hal sumbang menggangguku. Hal-hal yang tidak harmonis dengan pengharapanku masih bisa menyakitiku.
Konsistensi hanya ada pada perubahan. Dan aku jemu, aku bosan karena dunia tidak mau diam. Kita hanya porsi-porsi organik yang selalu termakan waktu juga udara. Bahkan, benda mati yang menua juga bisa jadi sasaran kata-kata kasarku.
Muak sekali rasanya pulang untuk menyaksikan semua bikin onar dan hingar bingar, bergelut dengan rasa terimaku.
Aku yang salah, Mikel.
Aku mau belajar lagi.
Kalau kamu tidak menemani, boleh.
Kamu terbebas dari kewajiban menemani.
Sudah waktunya. Dan aku harus terima.
Aku sayang Mikel karena memang itu yang selalu terjadi. Jumpa lagi kapan-kapan & kalau sebagian darimu jadi butiran kosmik lagi, semoga dia yang mengelilingiku, dan menemaniku jadi lebih baik.
Aku sayang Mikel.
Juga Puma, sama besarnya, walau aku tidak banyak menulis tentangnya.
Kucing-kucing baik.
Kucing-kucing cantik.
Dadah!
Salam,
Bafi