Apr 10, 2023

“Kadang mikir masa nyampe sini aja, sih?”

Aku ketemu temanku kemarin, buka puasa bersama, pesan dua meja terpisah untuk empat orang.

Satu meja dapat empat kursi, tapi kami mau dua meja yang totalnya delapan kursi untuk empat orang. Soalnya dua orang di antara kami mau cerita dalam hanya empat mata, sementara dua orang lainnya adalah ayah dan ibuku yang sebaiknya tidak tahu terlalu banyak—saat itu juga. Meski pada akhirnya aku ceritakan juga apa-apa yang dikatakan mendalam kepada keduanya saat perjalanan pulang ke rumah, sementara temanku pergi sendiri untuk pangkas rambut.

***

Paragraf ini tentang kami berdua: aku dan temanku, tidak mendeskripsikan kedua orangtuaku meski mereka ikut berbuka puasa bersama:

Hidup masih tidak terlalu mudah bagi kami. Usia kami belum terlalu tua dan menjadi seorang yang masih cukup muda seolah bisa jadi bulan-bulanan sumpah serapah. Benang merahnya begini, kesalahan kami: masih cukup muda.

Hampir dua puluh empat bulan yang lalu kami menapak pada negri-negri lain bersama, merasa kuat dan kokoh. Cemas hanya sebagian kecil dari hari-hari kami, seperti saat menanti hasil swab test sebagai syarat melewati perbatasan negara. Cemas hanya sementara dan tenggelam begitu saja di antara tawa dan kebodohan yang kami kenang sebagai hal yang menyenangkan.

Empat bulan sebelumnya dari perjalanan itu, kami main salju bersama. Siang sampai sore, jalan pelan-pelan karena sepatuku tidak didesain khusus untuk bergesekan dan mencengkram es. Tawa kami banyak dan sebagian besar ada di antara foto-foto yang kami kumpulkan. Anjing-anjing bermantel lari-larian di antara kami dan pemiliknya. “Kamu anjing yang paling kukenal,” saat itu. Hari menyenangkan dan cokelat panas menutup malam sebelum dia pulang.

Dua bulan dari hari bersalju itu, kami juga main salju, yang menandai salju pertama kami di desa tempat kami tinggal. Malam beku, martabak manis diidam-idamkan. Peduli apa tentang orang-orang yang keluar kamar, main ke kampus dan ambil foto indah bersama salju tebal? Kami hanya peduli pada martabak manis yang resepnya kami takar-takar sendiri. Tidak punya baking soda, kami pakai ragi. Tidak punya pan tebal, kami pakai pan medioker. Hasilnya? Tentu saja martabak yang tidak mengembang dan gosong kulitnya. Orang-orang tidak makan martabak manis malam itu. Spesial sekali rasanya jadi kami karena setelah menyantap martabak, kami memutuskan untuk main salju bersama dua temanku yang sama-sama tidak punya salju di negaranya.

Sepanjang tahun itu, aku kesulitan menyayangi diriku. Kusampaikan ceritaku kepadanya. Begitu pun sebaliknya. Berbagi luka rasanya adil sekali bagiku. Ada rasa tenang saat menyadari bahwa duka di dunia ini terdistribusi pada banyak individu dan takarannya harusnya sih selalu dapat diampu oleh tiap-tiap diri.

Tahun itu aku berangsur menghilangkan duka: lewat diskusi, lewat refleksi, lewat cara-cara bertolak belakang yang selama ini takut untuk aku sambangi. Dia di sana, menawarkan banyak opsi yang kadang aku minta meski lebih banyak tidak. Komentar, celetukan, dan gesturnya menjadi bahan observasi yang aku koleksi sebagai referensi berbagai penyelesaian masalah.

Aku begitu hidup saat itu. Kukira dia juga.

***

Kemarin kudapati dia duduk pada salah satu kursi yang telah direservasi, membelakangi pintu masuk. Sulit sekali mengenalinya kalau bukan karena tas ransel merah batanya yang sudah biasa dibawa kemana-mana. Duduk di hadapannya, ternyata lebih sukar dan menyakitkan.

Rasanya mau kutanya: “Kamu siapa? Anjing yang mana? Kenapa tidak menggonggong?”

***

Lalu, aku patah hati banyak-banyak.

Soalnya tidak kenal kamu dan begitu takut kehilangan temanku. Menilik balik bahwa tidak banyak bantuan-bantuan esensial yang kuberikan kepadamu pada waktu-waktu yang lalu. Sementara kamu kasih aku pondasi, aku mungkin membantumu menyiram pohonmu yang salah, lalu ia berbuah yang pahit-pahit.

Kembali lagi, please?

Minum obatnya, pergi ke gunung, merenung di bawah air terjun, apapun itu, yang penting kembali lagi, ya?


P.s. aku tahu kamu belum menyerah & aku pun begitu.

Haya/Afi| 2008-2022