Kulit-kulitku lepas-pasang. Jika ia lapisan ke-8 atau ke-12, apa mungkin ia tidak lagi layak disebut kulit? Apa ia tetap pelindung suatu atau beberapa bagian yang vital, yang menjadi pusat kerja agar setiapnya bisa melangsungkan kerjanya?
Kulit yang dalam beberapa bulan terakhir ini paling sering jadi lapisan terluar ialah kulit wanita yang berfungsi dengan nilai yang semoga di atas tujuh setengah dari sepuluh. Kulit yang terkoyak karena kesengajaan atau tidak akan kembali menyembuhkan diri sembari menyisakan bekas yang lebih gelap.
Masih dengan lapisan kulit yang sama, ia membuat yang terlindungi sering menarik nafas panjang, tidak jarang dengan sungguh-sungguh harus diusahakan. Kulit pada jari yang menyentuh kulit kepala yang berujung genggaman erat pada rambut. Lebih erat, seakan itu satu-satunya cara yang aku anggap manjur untuk mengeluarkan kepanasan padanya.
Masih dengan lapisan kulit yang sama, jari bekerja sama dengan kulit pada lengan bawah menyeka air yang ada di kulit bawah mata. “Asin, asin,” ujar lidahku. “Lebih baik keasinan daripada terbakar,” ujarku membela lapisan kulitku.
Pada hari-hari sejuk, kulitku lembab, elastis, menjadi yang tercantik.
Di antara hari sejuk, aku membatin: selamanya?
—
Dua hari ini lapisan kulitku yang lain terpasang, sedangkan yang sebelumnya terlepas. Diistirahatkan. Maka fungsi tubuhku berubah semua. Termasuk bagaimana aku bisa memaknai warna, suara, dan rasa.
Oh, rindunya.