Menulis untuk (atau bisa juga, pada) blogku, yang padanya sudah aku curahkan macam-macam kisah sejak aku masih pada tingkat sekolah menengah pertama.
——
Halo,
Aku sudah jadi ibu sekarang.
Aku melahirkan seorang bayi beberapa waktu lalu.
Masa persalinan aktif terjadi dalam kurun waktu kurang lebih tiga jam, pada kehamilan yang usianya sudah melewati taksiran hari lahir yang ditetapkan dokter sejak pertama kali aku konsultasi padanya.
Persalinan rasanya luar biasa. Meski sudah diantisipasi bahwa ia akan begitu menyakitkan---yang oleh karenanya telah aku usahakan persiapan baik mental maupun fisik melalui perbincangan dengan diriku sendiri dan deretan partisipasi pada kelas-kelas khusus ibu hamil, serta olahraga yang jauh lebih sering terjadi dibanding saat aku tidak hamil--ternyata ia tetap terasa menyakitkan bagiku.
Meski bisa menyimpulkan betapa sakit rasanya, aku tidak ingat bagaimana tubuhku bertahan saat itu. Taksiran sakitnya tidak bisa tergambarkan lagi pada tubuhku saat ini. Mungkin tubuhku berangsur melupakan karena walaupun yang dirasa adalah kesakitan, ia bukan sebuah kejahatan dan bukan hal yang perlu dihindari pada waktu kemudian.
Tubuhku seakan berkata: “Telah terlalui, sudah diperjuangkan, lupakan sakitnya. Tidak perlu ada ganjaran bagimu dari siapapun, termasuk dari yang dilahirkan. Jalani kelanjutannya yang tidak ada jaminan tanpa kesakitan lainnya. Simpulannya? Kamu bisa kuat, soalnya kamu pernah sekuat itu, kan?”
Sakitnya, lukanya, menetap untuk disembuhkan dan dimaknai sebagai sesuatu yang justru perlu disyukuri. Anakku lahir, tanpa kurang suatu apapun.
Semenjak kelahiran anakku, aku berbeda.
Fisikku lelah: Aku punya banyak luka yang menandai bahwa aku seorang ibu.
Pikiranku masih meraba-raba apakah memang benar bahwa banyak hal perlu aku tanggalkan saat aku seorang ibu? Apakah itu imbas dari peran baruku sebagai seorang ibu yang dimulai saat tangisan anakku terdengar atau hanyalah karena aku adalah seorang ibu baru? Ia berkutat pada rasa penerimaanku bahwa peran terbesar sebagai seorang ibu adalah segala alasan bahwa yang dilahirkan ialah seorang anak. Maka, hajat soal hidup anak dan keberlangsungannya menempel pada peran ibu.
Telingaku juga mencoba menerima bahwa tangisan yang dilayangkan anakku—yang sangat mungkin lama berhenti dengan oktaf yang berbeda-beda dan kosakata yang tidak begitu jelas—adalah cara ramah anakku untuk mengomunikasikan maksudnya meski ia terlihat selalu marah.
Tanganku sebisa mungkin bergerak secara halus setiap menyentuh dan mengangkatnya. Aku menjadi makhluk paling kaku saat berinteraksi dengannya.
Aku menangis dengan porsi yang cukup—setidaknya bagiku. Menangis karena lelah, karena bingung, dan karena merasa bersalah, ketiganya aku ekspresikan.
Tidak jarang simpulanku sungguh generik: susah sekali jadi ibu.
Siapa juga yang bilang jalan ini akan mudah?
Sejak aku menjadi ibu, aku ditemani ibuku. Ia mengajariku hal-hal teknis. Jauh dibanding itu, kehadirannya lah yang justru merupakan wujud konkret peran ibu darinya bagiku. Aku bukan lagi bayi, namun kebingunganku membuat bahasaku berubah menjadi ekspresi lain yang sulit dimengerti orang sekitar, kecuali ibuku—tangis, kata-kata dingin, keengganan menyentuh anakku, rintihan sakit. Ibuku memahami semuanya dan membantuku memenuhi kebutuhan anakku yang belum bisa aku tunaikan.
Mungkin itulah arah yang perlu aku tempuh sebagai seorang ibu: hadir untuk anakku dan mencoba memahami serta memaknai segala kebutuhan dan kesulitannya.
Mampu kah?