Jul 3, 2015

#4: My Views on Religion

Hola, aneh sih tiba-tiba judul postingan ini dibubuhi angka empat yang menandakan dia sebagai butir keempat dari deretan suatu butir-butir pada sebuah daftar. Aelah ribet. Ceritanya saya mau meneruskan blog challenge yang tertunda setahun sudah. lol. Baiklah, jadi selama setahun saya hanya berhasil menjalani tiga butir tantangan dari 30 days blog challenge. Cupu sekali memang. Begitulah orang yang sangat less-motivated.

***
Ini bahasan berat sekali bagi saya. To the point saja.
Bagi saya, agama adalah guidance untuk ujian yang sedang saya jalani. Iya, hidup ini. Sesuai dengan apa yang saya yakini, manusia sebagai makhluk paling unggul yang diciptakan Tuhan sesungguhnya setuju untuk menjalani ujian. Saya meyakini bahwa saya pernah berikrar kalau saya adalah makhluk Tuhan yang harus taat pada semua perintah-Nya kelak Lalu semua ingatan akan ikrar saat di alam ruh itu dihapuskan. Agama inilah yang menjadi guidance saya untuk memenuhi ikrar.

Saya bersyukur saya masih punya keyakinan atas agama saya, Islam. Kata Ayah, ada hal-hal yang hanya bisa diyakini. Kenapa sih saya percaya? Karena ada ikatan yang membuat saya bisa percaya. Omongan Ayah saya tentang hal-hal-yang-hanya-bisa-diyakini saja saya percaya. Saya percaya bahwa ini adalah kebenaran. Keyakinan ini memang sulit untuk dideskripsikan. Tapi terkadang bisa dengan mudah ditemukan poin utamanya.

Semisal begini. Saya lahir pada tahun 1995. Kata siapa?
Kata Mama. Mama saya bisa tahu detail bagaimana proses kelahiran saya meski saat itu konsentrasinya terpecah sana-sini akibat kontraksi. Karena beliau yang menjalani prosesnya, sedang saya hanya menunggu untuk dilahirkan dan disambut dengan haru. Voila, 11 Oktober 1995 saya lahir di Bogor, di sebuah ruangan bersalin dibantu oleh seorang bidan dan beberapa perawat yang sekaligus menjadi pemandu sorak agar Mama semangat menyambut kelahiran saya. Yeay, sayang Mama!

Memangnya iya ya saya lahir pada hari itu? Saya sih lupa. Saya nggak ingat apa pun tentang kelahiran saya. Saya lupa menangis apa nggak. Lupa, benar-benar lupa. Tapi ada kok di akte kelahiran. Akte kelahiran ini jadi sumber legalitas kalau saya benar-benar akan berusia 20 tahun pada 2015 seperti orang-orang yang juga lahir pada 1995. Saya percaya kalau Oktober nanti saya memasuki usia kepala dua.
Ah, sekali pun nggak ada akte kelahiran saya tetap percaya kalau saya lahir pada tanggal itu kalau Mama yang bilang. Saya nggak akan mendebat hal itu lebih jauh, saya nggak akan mempertanyakan kenapa bukan Juni? Kenapa tanggal 11? Saya percaya dan perihal tentang tanggal kelahiran tuntas sudah.
Ini karena saya punya ikatan yang kuat sama Mama.

Kalau tetiba saat umur saya 15 tahun, lalu guru IPS saya mencoba mendebat kalau saya sebenarnya sudah berusia 20 tahun dan beliau membubuhi omongan bertele-tele tentang hari kelahiran saya, saya bisa jadi tidak acuh. Sotoy. Tentu saja saya lebih percaya Mama saya, lah!

Lah kalau yang tentang ikrar tadi, yang berfirman Tuhan. Saya merasa semua-semuanya berasal dari Tuhan. Sudah seharusnya ikatan yang paling kuat yang ada pada manusia adalah ikatan dengan Tuhannya. Ya saya percaya lah! Saya nggak butuh akte atau sertifikat kalau saya pernah berikrar. Saya percaya, saya yakin.

Sebenarnya omongan ini di luar konteks views on religion. Hm. Biarlah.
Alasan saya mau kembali menjalani tantangan menulis ini adalah karena saya merasa menemui writer's block. Saya mau menulis tapi saya tidak bisa. Alhasil saya kembali ke tantangan ini karena saya disuguhi tema-tema yang bisa menjadi starter saya untuk menulis. Yeay, jadi sedari tadi saya biarkan saja jemari ini pijit-pijit aksara sesukanya.

Sudah ah. Saya nggak mau terusin. Nggak usah didebat ya apa-apa yang saya ketik di sini. Saya nggak minta kamu percaya atau yakin sama apa yang saya kemukakan. Sila temukan keyakinanmu sendiri.

At most of it, saya bersyukur saya mempercayai dan meyakini agama saya. Islam.


Sampai jumpa di postingan butir ke-5.
Ciao!
Afi Wiyono.
Haya/Afi| 2008-2022