Mar 6, 2016

Tulisan Panjang

Sudah Maret, everybodeh.

Pekan ini lelah sekali oh plis izinkan saya ber-whining ria karena pekan ini melelahkan oh plis.

Senin, saya gagal mengumpulkan laporan yang sudah menemui tanggal matinya. Empat laporan sekaligus. Iya, teknologi pangan memang menyenangkan. Kalau sudah semester 6, kamu akan disuruh bikin bakso, bikin sosis, bikin cabai bubuk, bikin tepung telur, bikin kamaboko, bikin susu bubuk, bikin bubur instan, bikin sari jahe, bikin apa pun yang lezat (seharusnya) disusul oleh berbagai laporan bersifat saintifik yang duh, gimana cara mengejanya saya lelah untuk mencari tahu. Laporan tentang prinsip pembuatannya harus disertai catatan panjang tentang analisis biayanya.

Senin pagi saya skip kelas karena profesor saya akan geram jikalau pintu kelas dibuka lebih dari 10 menit setelah pukul 7. Senin siang saya buat nugget ayam dan terpaksa menunda waktu makan siang karena prosesnya menyita begitu banyak waktu. Senin siang juga saya ke bank di rektorat untuk bayaran SPP. Lalu semangat membayar hilang saat melihat antreannya. Nggak kuat. Senin sore saya mual dan pusing sehingga "tewas" oleh penat. (Masih) Senin sore, saya lupa mengumpulkan laporan. Senin malam saya terpaksa membatalkan jadwal trial produk yang (secara mengejutkan) lolos didanai dana Dikti. Pusing sekali, duhai. Gelora itu memang nggak pernah ada, frankly speaking.

Selasa, saya berangkat kuliah ditemani om-om yang entah siapa namanya. Om sekuriti perumahan yang merangkap profesi jadi ojek. Telat berangkat daku. Sialnya, wajib berangkat pagi untuk terlebih dahulu mengumpulkan laporan yang tertunda justru terealisasi dengan keberangkatan jauh lebih siang dari biasanya. Payah sekali. Lebih payah lagi karena saat itu hari pertama bulan Maret. My dear IPB, my grin kampus whatsoever yang katanya resmi diberlakukan. Jalan diportal, diblok sama bapak-bapak sekuriti and friends dimana-mana. Pak, saya sedih. Saya mesti lari-lari kejar waktu biar nggak ditinggal kakak asisten praktikum. Abis itu saya mengejar waktu kuliah yang juga pukul 7.

Selasa siang, saya ikut Aufar dan Lingga bayaran SPP di bank luar kampus. Katanya bisa tanpa bawa kartu ATMnya. Yaudah. Ternyata nggak bisa dong, tapi ini waktu terakhir yang paling memungkinkan untuk bayar SPP. Pegel ih. Yaudah akhirnya saya "rampok" ATM bank itu dengan kartu bank lain demi bayar cash. Tapi kena potongan biaya yang kalau ditotalin bisa untuk tiket ke Bandung naik MGI dan jajan makan siang di sana. Yaudah. Selasa siang, saya dan Aufar mencoba rute grin kampus yang lain. Terus kami terkejut karena tetiba ada portal di dekat fakultas yang punya kandang. Ih, rasanya malah kayak kita yang dikandangin. Yaudah, sudah malas berinteraksi sama pikiran sok idealis akan kampus hijau yang sesungguhnya siang itu. I have myself retired. Selasa malam saya tidur cepat agar cepat ketemu mimpi.

Rabu, saya disponsori 2 laporan yang entah mengapa kata asisten praktikum paling sensitif sedunia yang pernah meng-assist harus terkumpul pukul 12 siang. Najis. Paginya, saya kuis dan dapat nilai setengah dari sempurna. Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dosen saya turut berduka atas nilai mahasiswanya dan menjadikan nilai yang mayoritas cere itu sebagai bahan evaluasi cara mengajarnya. Nilai kuis batal dimasukkan hari itu. Kita coba lagi kata si Bapak, kita pasti bisa lebih baik dari itu. Setelah itu, ada konser tiba-tiba. Saya disuruh menyanyi lagu yang tidak saya tahu di depan satu fakultas. Sialan. Untung saya orangnya cukup berbahagia dan tidak cepat malu karena penampilan buruk. Menjadi buruk adalah bagian dari menjadi hidup. Biarlah, kamu yang standing ovation, lucu juga caramu tertawa. Rabu siang, laporan saya gagal terkumpul lagi. Ih, nggak peduli diminus juga.

Kamis, ada apa sih Kamis. Lupa banget.

Jumat, hari bebas praktikum. Hari tidak bawa jas lab. Tetapi tetap masuk pukul 7 dan pulang setelah pukul 5 sore. Terlebih, saya pulang malam karena Rizal meminta saya untuk tampil bersama Esther di acara besok. Acara apa, sial?? Acara yang butuh pengisi acara di bagian intermezzo. Harus digarisbawahi, seberapa lentur lidah saya bisa membantu mulut mencerocos, seberapa katamu suara saya layak didengar publik, seberapa luang waktu yang saya miliki, saya sungguh bukan penampil. I enjoyed the show, I have never been enjoying the time when I am the show itself. Tapi muka Rizal sore itu sungguh harus didokumentasikan. Meminta, memohon, mengharapkan dengan sungguh. Akhirnya saya dan Esther (sok) luluh dan mengiyakan permintaannya. Lalu kami latihan seadanya, dengan malas tanpa gelora. Yaudahlah, ini acara departemen, yang menonton paling-paling teman sejawat.

Jijik.


Bohong.


Sabtu pagi, saya dikejutkan oleh wajah-wajah asing yang entah siapa. Banyak yang tua pula. Beberapa dosen hadir di sana. Ternyata acara itu memang diperuntukkan bagi mahasiswa pascasarjana dan alumni departemen saya. Siaul. Jadi saya harus menjadi penghibur bagi yang sudah berumur? Sekali lagi, saya bukan penampil, namun saya rasanya tahu harus apa jika tampil. Menjadi apapun yang ah susah dideskripsikan. Pokoknya sesi kala itu lumayan berkesan dan berlanjut pada telatnya saya untuk menghadiri monitoring dan evaluasi program yang didanai Dikti. LELAH!

TOLONG!

Haya/Afi| 2008-2022