"There is a thing, which is harder than to learn"
"Huh."
"Is to unlearn"
"To fall out than to fall in"
"You learn at ease"
"I unlearn at worst"
.
.
.
Juga tentang pura-pura lupa rupa. Bahkan pura-pura melupakan rupa.
Tentang tulisan-tulisanku yang memakan sejumlah porsi jatah simpan di komputerku. Maka kulayangkan sebagian ke penyimpanan awan. Karena awan bisa jadi ada di atasmu. Lalu menjatuhkan materi ke sekitarmu. Mungkin dia menghambatmu. Atau mungkin dia memberi kabar. Atau setidaknya menciptakan suasana agar engkau tahu.
Ada yang pura-pura melupakan rupa. Ingin tidak mengetahui. Ingin balik ke titik awal. Bahwa kamu tidak seperti apa yang aku tahu. Karena pada suatu titik dalam garis-garis lampau, kamu berwarna kuning. Aku ingin kembali ke titik yang tepat saat kamu belum kuning. Saat warnamu satu. Persis seperti titik-titik penyusun garis orang lain. Serupa dalam kewajaran.
Aku buruk dalam mempelajari namun lebih buruk dalam tidak mempelajari. Maka aku belajar. Untuk menemukan titik kuningmu agar bisa menaruh warna wajar padanya bukan justru melupakan bahwa kamu kuning di suatu titik. Tapi usahaku seakan sia-sia. Jalan balikku jadi kuning semua. Aku ketar ketir ingin menghapus semua langkah karena justru kuningmu dominan.
Lalu aku kembali belajar. Aku ingin menelusuri jalan di depan dengan membubuhi warna wajar sejauh-jauhnya. Memang dasar manusia, sekalinya letih suka sekali menghitung-hitung jarak yang sudah ditempuhnya agar ia merasa terhibur akan pencapaiannya. Aku sudah jauh. Kamu berwarna wajar pada satu per ribuan titik sepanjang garis, tepatnya di bagian awal. Lalu aku temukan kuning yang jadi gara-gara. Lalu satu titik berwarna wajar selanjutnya. Dilanjutkan dengan garis kuning mentereng yang pernah dominan pada suatu besaran panjang garis kita. Lalu warna wajar yang kubuat panjang.
Saat menyimpulkan apa rupamu, aku kecewa.
Pola rupamu memikatku.
.
.
.
.
"I will not learn nor unlearn"
"I surrender"
Yang mempertanyakan mengapa kuning harus jadi pemikatnya,
Afi Wiyono.