Apr 13, 2017

Orang Keempat dan Istrinya

Ada yang minta bertemu beberapa hari lalu. Minta cuap-cuap tapi merahasiakan topiknya sampai hari H. Si Orang bilang mau bincang-bincang berdua. Tapi kubilang aku mau lebih dari dua. Ya sudah, si Orang ajak yang ketiga.

Hubunganku dengan si Orang pernah agak erat. Namun kata sifat "agak" ternyata membuat hubungan itu mudah berubah.  Kata "tidak" muncul menjadi penggantinya saat kami berdua minim berusaha dalam hubungan pertemanan kami.

Si Orang minta berbincang setelah kami secara tidak sengaja bertemu di toko roti suatu siang. Kami sama-sama berubah dan sempat meragu untuk saling sapa. Tapi, sapaanku tepat sasaran, toh? Saat itu aku sedang bersama Ayah dan Mama yang minta panganan ringan untuk sekadar mengisi perut.

Sapaan basa-basi kami yaa paling tidak bisa diberi 2 dari 5 bintang kalau parameter penilaiannya adalah kecanggungan. Ada canggung sedikit. Wajar lah, kami sempat sama-sama malas bertemu di waktu lalu.

Pada pertemuan yang akhirnya aku setujui, kami hanya berdua untuk satu jam awal. Aku ditemani dua buah apel, si Orang mencari teman yang pada akhirnya terpilihlah kentang goreng dan ayam goreng tepung. Aku sedikit menggerutu karena si Orang telat 33 menit dari waktu yang sudah kami sepakati.

Pun gerutu itu hilang dengan mudah karena perbincangan kami akan dimulai.

"Jadi, apa yang mau dibicarakan?" tanyaku.

Si Orang meletakkan ayam goreng tepung di piringnya. Lalu, ia menyunggingkan senyum kecil. Boleh dikata hanya sebersit.

"Aku mau bicara tentang Ayahmu," ujarnya singkat.
Apelku enak tetapi ucapannya lebih menyita perhatianku. "Hah? Bagaimana maksudmu?" tanyaku dengan intonasi meragukan kata-katanya.

"Pertama kali aku berbincang kemarin dengan ayahmu di toko roti, aku senang," jelasnya sambil malu. Mungkin itu malu, aku tidak yakin apa yang si Orang rasakan.
"Senang bagaimana?" tanyaku lagi hampir tertawa.
"Yaa, belum pernah aku bertemu orangtua teman dan merasa dihargai seperti itu," jelasnya dengan senyum lebih lebar.

"Jadi pertemuan ini benar-benar akan membahas ayahku?" aku tertawa setelahnya.
"Yaa, memang begitu diniatkannya. Tapi aku juga mau tahu tentang ibumu"

Begitukah?
Aku bisa lihat bahwa si Orang jujur saat mengatakannya. Tapi, mengapa?

Katanya, si Orang tidak pernah bertemu sosok ayah seperti ayahku. Si Orang bilang ibuku terbuka dan bisa diajak berbincang. Selama ini, si Orang mendapatkan "kekang" dan "keras" sebagai definisi orangtuanya. Tak terkecuali orangtua temannya.

Aku coba menjawab pertanyaan-pertanyaannya.  Bagaimana caranya kedua orangtuaku mengasuh, cara keduanya menyikapi setiap pilihanku, juga cara keduanya menjadi teman anak-anaknya.

Aku senang si Orang mencoba terbuka dan menceritakan hal-hal yang agaknya akan tabu menjadi topik obrolan kami sebelum hari itu. Aku menyadari bahwa pertemuan secara tiba-tiba itu bisa menjadi media kami untuk kembali berbincang tentang banyak hal.

Pada pertemuan itu, turut serta si Orang Ketiga. Kami berbincang tentang apa pun. Apa pun yang menyenangkan juga yang menyedihkan. Hari mulai larut dan akhirnya turut serta si Orang Keempat.

Si Orang Keempat datang untuk menjemputku. Lebih tepatnya sejak awal si Orang Keempat memang menantiku hingga aku siap pulang dan menyudahi pertemuan dengan si Orang dan si Orang Ketiga.

Si Orang senang karena pada pertemuan ini secara mengejutkan si Orang Keempat turut serta. Bagiku itu tidak mengejutkan. Aku tidak mau mengusik kesenangan si Orang saat itu. Maka, kuhabiskan waktu-waktu terakhir pertemuan dengan membicarakan topik penelitian dengan si Orang Ketiga. Sementara si Orang dan si Orang Keempat duduk berdua di tempat yang agak berjarak dariku.

Entah apa yang mereka bicarakan. Namun si Orang senang dengan fakta bahwa si Orang Keempat adalah ayahku.

****
Ayah, apa yang telah Ayah lakukan? Mengapa beberapa kali temanku menanyakan hal ini?

Aku rasa aku sedang ditunjukkan bahwa alasan bersyukurku dekat. Ayah dan Mama sebagai orangtuaku. Juga ditunjukkan bahwa keduanya telah berusaha dengan sangat baik sebagai penjaga amanah Tuhan berupa aku dan kakak-kakakku. Juga ditunjukkan bahwa sudah sepatutnya aku memenuhi perintah Tuhan untuk benar-benar menyayangi keduanya.

Tuhanku, terima kasih banyak!

Anak,
Afi Wiyono.

Haya/Afi| 2008-2022