Nov 26, 2017

We all seek for comforting words. And it is okay.


"These things are not my things. I talk food"
"Nggak usah milih-milih ilmu mana yang kamu suka"
"Serius"
"Who the damn care about what you like?"
"I have choices after all"
"Ilmu, dipelajari atau pun nggak, ya memang ada"
"Aku nggak protes soal itu"
"Were you protesting about anything?"
"I was just saying"
"Define ilmu"
"...."


Jangan lupa kalau apa-apa yang "diilmukan", dibuat sistematis, asalnya dari apa yang memang ada. Manusia toh sepanjang hidupnya cuma bisa berusaha memahami tanpa benar-benar paham. Sebut matematika, sebut fisika, sebut keteknikan, sebut. Pada akhirnya?

Pada akhirnya semua cuma bahasa yang dibuat agar kita punya definisi tanpa persepsi dan pretensi. Agar semua merasa "ter-adil-kan" meski kosa kata itu pun nggak pernah ada.

Ada yang jago dua bahasa, tiga, lima, empat belas, toh pada akhirnya tidak ada skala baik buruknya. Manusia cuma mencari-cari media supaya kita sama-sama bisa melanjutkan usaha memahami.

Pertanyaannya, apakah dalam kepercayaanmu, berilmu itu diharuskan?
Dan apakah "agama"mu kamu imani?
Apakah keimananmu menyeluruh pada kebenaran bahwa agamamu menyeluruh?
Mengapa kamu disuruh merenung tentang penciptaan langit dan bumi?
Dan apa itu tanda-tanda bagi orang yang berpikir?

Ilmu ada sejak kamu bahkan tidak mempertanyakannya, Sayang.
Maka, ia ada untuk didatangi. Ia ada. Jika kamu siap, datangi saja.
Orang yang tidak siap, tidak harus dipaksa siap.
Kita ditakdirkan memahami secara bersama.
Maka, membenahi dari tingkat individu adalah jawabannya.
Toh, kedamaian pada level individu bagimu kan hal yang equivalen dengan kemerdekaan.

Jadi, kita hanya mencari damai dengan usaha memahami yang tidak pernah berhenti.
Maha Pemilik Informasi tidak pernah jauh.
Dia dekat.

.
.
.
.
These are my current comforting words. And it is okay.
Haya/Afi| 2008-2022