Kemarin di Indonesia libur maulid nabi. Di tempatku sini aku malah lembur di lab, ngerjain purifikasi RNA yang keempat. Padahal awalnya cuman dijadwalin tiga kali aja. Sayangnya, sampelnya masih keruh jadi harus nambah satu set purifikasi. Setelah kali keempatnya ternyata juga masih keruh. Yaudah deh, nggak apa-apa namanya juga usaha.
Hikmahnya apa ya.
Aku lagi pengen refleksi banget.
Sejak mempercayai bahwa hal-hal di dunia ini diciptain secara analog--dan besar kecil hanya masalah skala--aku jadi lebih suka refleksi. Apa ya, you may say cocoklogi kalau menurutmu ini apa banget. Bikin aja diri kamu nyaman sama apa yang kamu percayai, aku juga mau ngerasain damainya proses aku dalam beriman kok. Lah, Fi, ngomong sama siapa ih. Defensif amat hidup, padahal nggak ada yang nyerang.
Jadi, menurutku hikmahnya tentang purifikasi ini adalah.....
Bahwa penyucian tidak bisa hanya sekali dua kali. Tiga kali pun pengotor masih ada. Bahkan di saat usaha lebih dari maksimal dikerahkan, keadaan suci, murni, bersih apa pun itu yang punya makna ekuivalen, belum didapat juga.
I fell onto thought: How filthy am I?
Lalu, seberapa sering sih diri ini setidaknya berpikir kalau diri butuh disucikan?
Terus, dari sekian kali berpikir tentang menyucikan diri, berapa kali proses itu terlaksana?
Dan, ada yang berhasil kah?
Jawabannya:
1. Nggak tau
2. Nggak tau
3. Nggak tau
4. Nggak tau
Hehehehehe. Kotor yah?
Hikmah lainnya dari purifikasi RNA adalah......
Bahwa untuk mendapatkan hal yang esensial, kita butuh proses oleh karena itu kita butuh waktu, pemahaman, dan trial and error.
Ayah selalu bilang: yang penting esensi.
Sementara sibuk sama jargon itu, aku lupa bahwa jargon itu pun mesti dicari esensinya ehehehe.
Padahal, "esensi" itu sendiri big word. BIG WORD, if you may think capitalized is necessary.
Sebelum metode purifikasi RNA ditemuin, berapa banyak sih trial and errornya, banyak sih pasti tapi nggak dipublikasi jadi jurnal. Butuh waktu sih pasti. Sabar banget yang berkutat nyari prosedurnya, pasti doski penasaran banget. Driving forcenya kuat banget nih. Aku nggak mau googling ah soalnya aku ngetiknya lewat tablet nih. Kalau tabnya ditutup suka error aplikasi bloggernya. Alesan aja hidup.
Oh iya, bahkan sampai sekarang pun pasti masih dikembangin cara termutakhir untuk purifikasi ini. Jadi, esensi tuh kayaknya susah juga didefine. YA APA-APA JUGA SUSAH DIDEFINISIIN SIH. Yeu, ngegas. Intinya, ya, keep on trying lah WKWKWK nggak deng, nggak sesimpel itu maksudnya.
Also, I fell onto thought: Udah sesering apa bersedia berproses saat mencari esensi dari suatu temuan di hidupmu?
Berapa lama waktu disediakan untuk mencari?
Berapa banyak trial and errornya?
Jawabannya:
1. Nggak tau
2. Nggak tau
3. Nggak tau
Hehehe, ignorant amat ya kehidupanku?
Udah, hikmahnya itu aja dulu. Dari 7 pertanyaan ini, I again, fell onto thought:
Kenapa sih menyucikan diri dan mencari esensi dianggap perlu buat diri sendiri?
Karena:
Aku mengimani kalau di kehidupan ini, aku lagi nyari jalan pulang untuk ketemu sama Sang Pembuat Jalan.
Nanti, saat waktunya tiba, aku harus bersih kalau mau ketemu.
Untuk buktiin bahwa aku bersih, aku harus bisa jawab pertanyaan esensial yang udah disediain.
Nomor satu:
Man Robbuka?
Siapa hayo.
Katanya:
Diriku nanti cuman akan bisa menjadi jujur sejujurnya.
Dari semua pengalaman dan peng-amal-an, diriku akan jawab sesuai prosesku selama di perjalanan. Kurasa, kalau aku bisa dapetin poin esensial bahwa perjalananku cuman untuk kembali ke Maha Pemilik, aku bisa jawab siapa itu Pemilikku.
Sejauh perjalanan ini, itu sih yang aku usahakan. Bermuara pada membiasakan diri agar bisa jawab pertanyaan nomor satu dan lanjut nomor-nomor lainnya.
Dalam belajar proses purifikasi RNA, aku mencoba cari jalan kembali.
Dalam berguru sama profesor ahli daging babi dan sapi, aku juga mencoba cari jalan kembali.
Dalam mengenal budaya yang berbeda dengan budayaku, aku juga mencoba cari jalan kembali.
Semoga, aku berada diujung yang mengantarkan ke Dia ya?
Aamiin.
Siap untuk ke proses desain DNA komplementer di sesi lab berikutnya,
Afi Wiyono.