Di akhiri dengan: "Gagal lagi, kita lembur hari ini".
Salah emang, yang bener tuh macam yang Raihan bilang: dimulakan dengan bismillah, disudahi dengan alhamdulillah.
Tapi, ya jadi belajar.
.
.
.
Hari ini aku dijadwalin bikin DNA komplementer dari larutan RNA yang udah dipurifikasi. Kata tutorku, Mari namanya, kerjaan hari ini singkat. Cuma beberapa kali sentrifugasi, dekantasi, dan pipet sana pipet sini, lalu ukur konsentrasi. Usai itu, kita kasih enzim, ubah suhu, pipet lagi.
Tapi ternyata ini jadi hari terpanjang s jauh ini. Soalnya, pipet sana sininya nggak becus akunya. Ulang lagi sampai empat kali. Tapi kok gagal kali ini diback up sama rasa senang akan kegagalan. Enak ternyata gagal yang bikin mulut ngeluarin suara "Oooo" lebih kenceng tiap kali nemu hal apa yang bikin gagal.
Senang dan amat sangat bersyukur dipasangin sama tutor supersabar dan superingin membantu. Aku selalu suka sama orang yang mau ngasih kesempatan orang lain belajar tanpa embel-embel mencak sana sini saat subjek yang pengen diajarin nggak ngerti-ngerti. All shoutout to those willingness! Semoga aku bisa belajar jadi orang macam itu juga, since I am surely short-tempered.
.
.
.
Makan siang hari ini, aku berbincang soal asam lemak di babi.
Mari mulai perbincangan ini dengan "Haya, bisa makan kare?"
Lalu aku bilang kalau di Jepang cuman bisa kare yang basisnya sayuran.
Lalu berlanjutlah itu ke pertanyaan mendasar "AADB" alias ada apa dengan butaniku.
Bukan Mari yang nanya, aku yang nanya.
Aku naif sih, tapi aku minim pengetahuan tentang pembeda antara butaniku dan daging mamalia lain yang diperbolehkan untuk dimakan. Mari ini sedang ambil studi magisternya dengan penelitian lanjutan tentang pengaruh pakan berbasis sampah ikan terfermentasi terhadap kualitas butaniku.
"Asam lemaknya bukan oleat kayak di daging sapi. Aku lupa nama bahasa inggrisnya hahahaha"
"Komponen volatilnya juga beda. Flavornya dipersepsikan lebih kaya dibanding daging sapi"
"Aku lebih suka butaniku. Pernah nggak mau coba butaniku?"
Lalu aku jawab,"Belum tuh, hamdallah, hahahaha"
Mari lalu membalas, "Aku pernah dengar katanya kamu nggak bisa makan butaniku karena babi hidupnya jorok ya?"
Lalu aku jawab, "Sapi juga jorok bukan kalau yang dijadiin standar bersih itu cara hidupnya manusia? Hahahaha"
"Hahaha, iya semua binatang kan jorok. Jadi apa sih yang bikin kamu nggak bisa makan butaniku dan derivat babi lainnya?"
"Mari, thank you for asking. It has always been a good opportunity to try answering people's question which merely mine, too."
.
.
.
Aku pernah menjadi hamba yang banyak tanya. Bahkan mungkin aku masih jadi sosok kayak gitu. Karena aku merasa pertanyaan bisa bikin aku tergerak untuk mikir, mikir, mikir, mikir! Habisnya kalau nggak mikir nanti kalau ketemu ayat Quran yang artinya "apakah kalian tidak berpikir?", kicep aja jadinya.
"Kenapa sih nggak makan babi?"
Sampai tadi siang, aku masih dikasih kemampuan sama Tuhanku untuk bilang bahwa alasan tersimpel yang juga ter-sanksi bagiku adalah "Itu tertulis jelas di kitab yang aku pegang, Mari. Selain babi ada hal lain juga loh: Ada bangkai, ada alkohol, ada darah. Aku secara mendasar nggak makan karena emang nggak boleh. Kalau ditelusurin kenapa aku bersedia nurut sama aturan ini tentu karena aku mengimani kepercayaanku."
Di balik kata mengimani, ada derivatnya.
Salah satu wujudnya adalah aku mengimani bahwa Tuhan Mahabaik.
Di balik kata Mahabaik, ada diferensialnya.
Bahwa Dia mau dan menghendaki ciptaanNya juga menjadi baik.
So, can this figure make both of us happy?
Aku naif lagi aja deh. Saat kamu minum alkohol, kamu belum bisa menentukan kebaikan dan keburukannya. Tapi saat kamu nggak sadar tapi tendensius macam saat mabuk kepayang, kamu bisa melakukan hal-hal yang mudoratnya lebih banyak. Oh, tentu saja aku nggak ngucapin kata mudorat ke Mari. Aku belum tahu banyak tentang butaniku. Tapi, ya ada sih jurnal tentang parasit yang ada di babi. Sama halnya kayak minum alkohol, saat makan kamu belum bisa menentukan kebaikan dan keburukannya. Tapi setelah itu ya nggak tahu.
Mahabaiknya Tuhanku, karena kita bahkan nggak diingankan untuk otw ke sebuah keburukan.
"Mari, are we good?"
"Of course. I will help you, Haya. Aku akan coba cari tahu apa hal mendasar lain yang membedakan butaniku dan daging sapi atau ayam kalau dari sisi saintifik,"
Lalu aku membatin: Wow, I did not expect that coming.
.
.
.
At last, this always seems right: God, You really are great.
Jadi, masih mau nyerah aja ngescan komposisi produk di supermarket?
Mau nyerah aja ngelahap habis makanan yang ada emulsifiernya?
Mau nyerah aja makan ayam yang udah jelas nggak disembelih pakai nama Allah?
Emangnya hidangan laut udah punah di tempatmu, Fi?
Belum--empat kali.
Bismillah, ya?
Afi Wiyono