Lalu aku juga dikasih studi kasus untuk mikirin tentang kota sendiri: Jakarta.
Kenapa ya Jakarta sering banjir?
Naif sekali sih aku masih jawab ya karena sampah dan resapan air yang kurang. Sejak sekolah dasar--meski sekolahku di Depok--aku selalu jawab begitu. Paling-paling waktu disuruh bikin esai pas mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian, di narasi tentang solusi terbaik untuk banjir aku nambahin "perdalam ilmu agama". HAHAHA WHAT THE FISH, BUT THE FISH WAS REAL THO.
Pas itu--sampai sekarang sih-- aku pikir kalau semua orang beneran jalanin aturan agamanya, masalah yang magnitudenya besar kayak banjir yang sulit surut bakalan jadi kecil. Toh, sampai sekarang di Indonesia, agama masih harus dianut kan. Idealnya dan kepinginnya ya gitu.
Kalau dipikir-pikir lagi, ini solusi nggak solutif karena nggak konkret plus nggak jelas implementasinya gimana. Jadi, tadi aku diajak bikin wacana teknis dari sisi keilmuan hidrologi. Senseinya ini berdedikasi di bidang penanganan bencana alam yang berhubungan sama air.
Beliau ngejelasin kalau untuk bisa memetakan masalah, konsep risiko dan bahaya perlu dipahami. Sesi kedua, beliau lanjut memaparkan kenapa beliau percaya kalau bencana alam disebabin sama perubahan iklim. Selalu senang kalau ngebahas ini tuh. Setelah itu, aku ngerasa paham alur pikir beliau. Di sesi ketiga, baru deh beliau ngajak diskusi tentang Jakarta.
Ngasih tau permodelan banjir, validasi dari model tersebut, sampai ngasih tau prediksi 2100 mendatang. Dulu rame di tivi dan koran katanya Jakarta mau tenggelem, ya nggak salah. Jadi, kenapa Jakarta masih banjir-banjir terus?
Jawaban naifku nggak patut dihapus, loh. Keberadaan sampah dan reduksi daerah resapan beneran masuk di antara tiga alasan. Satu alasan lain yang beliau paparkan: penurunan daerah dataran--literally turun ketinggiannya.
Masa dari tingkat sekolah dasar begitu-begitu aja sih?
Ya emang yang terjadi itu mau gimana.
Pemerintah nggak diem loh tentang hal ini. Itu reklamasi menjadi salah satu usaha yang menjanjikan banget. Istilahnya, pembuatan pulau baru ada di salah satu alternatif solusi yang secara saintifik teruji. The monkey smile yang juga diterapin di Thailand hampir sama prinsipnya kayak proyek sayap garuda di Jakarta. Oke, langsungkan! Jakarta nggak jadi tenggelem! Hore!
Tapi,
Utopis sekali, sayang.
Hidup di dunia emang isinya ujian aja terus.