Mar 27, 2019

Menjelang Waktu Tidur

"Jangan berantem kalau sudah menjelang waktu tidur. Kita harus sebisa mungkin menciptakan atau setidaknya menjaga suasana hati dalam keadaan senang sampai sesaat beranjak tidur."

Kira-kira itu sih poin yang aku dapatkan saat baca-baca tentang parenting.

Di usiaku yang sudah dua puluh tiga ini, aku jadi suka belajar parenting soalnya lagi mencoba mengevaluasi, aku ini sosok calon orang dewasa yang diharapkan dari sentuhan ilmu parenting tidak, ya?

Orangtuaku sih tidak pernah secara formal (atau informal) masuk ke kelas parenting. Maksudku kelas yang memang berlabel "parenting", yang khusus untuk mencetak orangtua yang setidaknya peduli tentang ilmu parenting. Ingat ya, ilmu adalah sesuatu yang sistematis.

Karena ketidakturutsertaan inilah aku jadi mau tahu, apa kah aku sosok yang setidaknya masuk beberapa kriteria anak terdidik? Begitu deh, pokoknya aku bukan mau menulis tentang parenting.

***
Semalam aku pulang naik Transjakarta. Transit dua kali, dilanjut naik OKTrip. Aku lelah! Superlelah dan supergundah ingin cepat-cepat sampai rumah untuk makan tempe hangat yang sebenarnya tidak ada.

Sepanjang perjalanan aku kesal karena aku tidak kebagian tempat duduk. Ingin rasanya aku dorong semua orang keluar bus dan jauh-jauh dariku. Tapi ini kan transportasi publik.

Aku kesal sekali sampai sebenarnya tidak sampai hati untuk menulisnya di sini.

Aku butuh waktu hampir 3 jam untuk sampai di rumah. Huhuhuhuhuhu ingin menangis. Sampai di rumah aku bersih-bersih sekenanya dan menyantap makanan.

Mukaku yang tidak bersahabat membuat ibuku ingin memulai percakapan yang sebenarnya untuk mencairkan suasana.

"Transit dimana tadi?" Tanyanya.
"Nggak mau ngomongin," balasku dingin.
"O o.. something wrong," ucapnya.

Setelahnya, ibuku langsung terdiam dan masuk ke kamarnya. Aku diam, bukan cuma tidak bersuara, melainkan juga berhenti menyuapkan makanan pada diri sendiri. Tiba-tiba suasana dingin.

Selesai makan, aku masuk ke kamar ibuku dan mendapati beliau tidur. Aku menyesal. Sungguh menyesal karena merasa beliau barangkali sedang dalam kondisi tidak enak hati seakan tersangka bersalah yang telah memunculkan topik pembicaraan yang aku tidak inginkan.

Aku sungguh menyesal tidak sempat membuat percakapan lain pada malam kemarin dan sudah saja menutupnya dengan sangat dingin. Aku mau menangis.

Tidak tahan dengan rasa bersalah saat melihat ibuku yang sedang tidur, aku segera beranjak ke kamarku. Bagaimana ya cara mendeskripsikannya, semua ketakutan dan penyesalan bergumul, meliputi diriku yang terbaring di kasur.

Aku tidak tidur tadi malam.

Pukul 3 dini hari kudengar suara pintu kamar ibuku terbuka dan dilanjutkan dengan suara pintu kamar mandi serta keran. Tentu saja beliau melakukan aktivitas favoritnya: berdoa untuk anak-anaknya.

Menjelang subuh aku mulai mengantuk. Mungkin pada doa tadi ibuku menyatakan pada Tuhan kalau aku dimaafkan. Mungkin juga aku didoakan supaya dilancarkan segala aktivitasnya, termasuk agar bisa tidur dengan tenang.

Aku tidak tahu.
Aku tertidur.

Bangun pada waktu lebih siang dari biasanya, aku dapati ibuku pamit ingin ke pengajian. Tidak ada percakapan berarti pada pagi tadi. Tidak sempat aku bilang betapa aku menyesal akan kejadian semalam.

Aku pergi ke kantor dengan awan-awan di kepala. Kulanjutkan tidurku di omprengan. Berat sekali rasanya hari ini, aku seperti mau menyerah saja. Apalagi siang ini tidak ada pesan apapun yang masuk darinya selama aku menjalankan aktivitas.

Sampai akhirnya, beberapa menit lalu, aku yang sedang di bus menuju rumah mendapatkan pesan singkat dari ibuku:

"Dimana De??"

Aku begitu bahagia melihat pesan itu dibubuhi dua tanda tanya. Menambah kesan hangat pada pertanyaannya. Apalagi saat dilanjutkan dengan pesan favoritnya setiap aku sedang di perjalanan:  "Fii amanillah.."

Huhuhuhuhuhuhuhuhuhu aku begitu bahagia saat ini. Aku mau melanjutkan tidurku ya. Supaya saat sampai rumah bisa segar bugar dan bercakap-cakap.
***

Dear Mama,
How I love you.

Xoxo,
Dedek.

Haya/Afi| 2008-2022