Back off, for you are being too self-absorbed.
.
.
Angin yang kena wajahku ternyata ribut juga saat lewat telingaku. Berisik, tetapi aku enggan tutup kuping. Soalnya ini berisik yang bikin aku rela tetap ingin menyimak. Angin seperti minta aku sesekali buka mata untuk lihat kalau dia cocok sekali dipadupadankan dengan pepohonan yang jumlahnya banyak.
Meski angin nggak berucap dengan bahasa yang sama dengan bahasa yang biasa aku gunakan saat berbincang sama orang-orang, dia berhasil sih menyampaikan pendapatnya. Bisa-bisanya dia punya banyak substansi tanpa pakai kata. Heran aku.
Aku pernah ketemu pihak selain angin yang kalau berbincang sama aku pakai bahasa yang wajar. Jelas substansinya ada, tapi dia malah bikin aku mau tutup kuping aja selama berinteraksi. Pihak ini manusia biasanya.
Biasanya manusia yang begini punya ciri pendukung. Misalnya, yang secara nggak langsung menahan tengkukku ke arah tertentu supaya fokus pada suatu titik. Lalu memberi kuliah tidak singkat tentang hal-hal yang menurutnya perlu menjadi perhatianku.
Maksudnya sih baik dan ada benarnya yang jumlahnya mungkin banyak. Cuman aku kadang jadi alpa untuk memerhatikan hal lain. Terlalu tenggelam. Pokoknya aku jadi berlaku buruk deh.
Memang ternyata ada saatnya aku cuma mau ngobrol sama angin, semata-mata untuk tetap mengimbangi berbagai hal. Jadi, nggak tenggelam.
Habis cuap-cuap sama angin,
Afi Wiyono