Oct 10, 2019

Pergaulan Tidak Bebas di Pusat Kota

Semalam aku bergaul, diajak ke gelaran pameran di pusat Ibukota. Bukan semata-mata karena ingin menikmati sajian visual maupun audio di sana, melainkan juga dalam rangka menemani seorang teman dari Austria.

Dia rekan kerja tetangga kantorku. Datang ke Indonesia untuk melakukan perbandingan antara standar baku teknis sejumlah  set aturan tentang lingkungan di Jakarta dan Eropa.

Tentu saja aku tidak berbincang soal itu. Selain karena itu bukan hal yang aku pahami, dia--Rebeka namanya--datang saat jam makan siang sehingga tidak sedikit pun perbincangan kami mengarah pada pekerjaannya.

Rebeka adalah pekerja sosial, begitu dia mengklaim dirinya. Kepeduliannya soal studi pembangunan berkelanjutan dimanifestasikan lewat program pembuatan sistem pompa air di Kenya dan Laos. Baru dua itu yang dia sampaikan, mungkin sebenarnya masih banyak lagi.

Pada malam kemarin, saat kami menempuh perjalanan dengan bus kota, kami berbincang cukup banyak hal. Tentang Kenya yang lebih cocok dikatakan kalau makanan pokoknya daging dibanding jagung, penemuan sumber minyak yang--setidaknya--belum menjadi konflik, skeptisme atas asupan nutrisi yang mulai dimonopoli korporasi, praktik kembali ke diri sendiri untuk memperbanyak jalur akses pangan, dan juga tentang masalah yang sedang negaranya hadapi.

Aku penasaran apa yang sedang orang-orang mereka tuju. Jujur, banyak parameter pembangunan negaraku--yang mungkin negaramu juga soalnya kamu sedari tadi baca tulisanku yang pakai bahasa Indonesia tidak baku ini--yang dibawa ke arah Eropa.

Rebeka berpikir cukup lama saat hendak menjawab. Aku bisa lihat sih, jeda itu bukan karena dia tidak tahu jawabannya, melainkan karena sedikit enggan. Malu mungkin?

"We people are hardly believing that we are now standing in the upmost favorable condition whereas the rest of the world are heading for. We people are ungrateful enough for that. We criticize too much, yet we reject on being involved."

Aku kaget sedikit karena jawabannya tidak teknis, tetapi sebagian diriku tidak kaget sama sekali soalnya di Austria penduduk sipilnya juga manusia. Ya, kita sama-sama tahu kalau manusia memang sulit merasa cukup.

Tidak heran banyak ganjarannya bagi mereka yang berhasil bersyukur. Kata Tuhanku, sih.

Malam kemarin kami mencoba cukup banyak makanan Indonesia: kerak telor, gado-gado, pempek, siomay, coto, dan jamu. Selamat ya, Indonesia. Untuk saat ini kita punya hal-hal itu untuk disyukuri. Untuk mensyukuri hal yang lebih sistemik, mungkin kita harus lebih bersabar dan lebih mau terlibat.

Jangan terlalu bersedih karena salah satu penyambung lidah kita ke pemangku kebijakan adalah orang macam Pak Arteria. Heheh. Dia sama seperti kita kok, manusia juga. Apa artinya omongan ini? Kamu lihat saja, kita semua punya potensi menjadi seperti dia. Pun dia punya potensi menjadi seperti kita--yang mungkin lebih baik atau lebih buruk darinya.

Dua hal lain yang bagi Rebeka bisa masuk list bersyukur kita: es kelapa dan negara yang berpulau-pulau.
.
.
Sedang di bus menuju ke pusat kota,
Naik bus mahal karena ditraktir Ayah,
Padahal Mama yang berulangtahun,
Afi Wiyono

Haya/Afi| 2008-2022