.
Alkisah aku dikehendaki untuk jadi sayur sop. Sop ayam atau daging, belum kuputuskan. Orang-orang lain juga sayur sop. Kami menjalani hidup sebagai sayur sop yang tidak kian matang.
Pada hari lahirku, aku punya panci kosong. Yang kemudian ibuku beri air dengan takaran yang baginya pas. Seiring waktu, aku berkaldu. Ibuku mau aku jadi sayur sop paling indah sedunia, lezat, dan berkhasiat. Pun ayahku.
Aku nggak tahu seberapa sering mereka berdiskusi untuk menyepakati seasin apa, segurih apa, seberagam apa sayuran yang jadi bagian diriku. Alih-alih aku dipastikan sayur sop yang mereka inginkan dan butuhkan.
Sampai hari terakhirku nanti, sayur sop belum juga matang. Sengaja, soalnya analogi yang dipakai begitu. Hidupku dianggap waktu masak sayur sop. Lama atau sebentar ya ditentukan masing-masing saja, deh.
Dalam waktu yang lebih panjang, aku memasak diriku sendiri karena merasa mampu. Aku nggak pernah berniat menambahkan telur puyuh karena aku nggak punya. Tapi saat ada yang memberiku satu pak telur puyuh, kucoba saja sertakan.
Enak nggak?
Nggak tahu hasil akhirnya bagaimana, tapi telur puyuh rasa-rasanya pantas saja. Ibu dan ayah terkejut, kenapa telur puyuh? Keluargaku lebih sering nggak menyantapnya sebagai bagian dari sop. Tapi aku bilang, telur puyuh bisa juga ada di sop.
"Mungkin sudah waktunya kita putuskan masak sop ayam saja?" kata ibuku.
"Siap-siap saja nggak terlalu enak, nggak seenak sop ayam," ujarnya kembali.
Ooo ternyata telur puyuh bisa buat gusar dan nggak henti-hentinya dibanding-bandingkan dengan pengandaian kalau saja itu ayam.
Tapi aku suka. Aku sop.
***
Kepada analogi yang nggak ada nyambungnya tapi enak untuk ditulis,
Aku tetap sayur sop, meski katanya jadi kanvas untuk melukis lebih enak.
Xixixi,
Afi Wiyono