May 27, 2021

Redefining Mati

Temanku meninggal tiga hari lalu.
Nafasnya tidak ada, jantungnya dipastikan berhenti. Sudah dikubur pada hari berikutnya.

Kalau meninjau kematian dari detak jantung, mungkin aku pernah sangat hidup karena detak jantungku berkala meningkat, kuat, kuat, sangat kuat. Tapi rasanya aku lebih mau menyebut aku dekat dengan kematian. Sedekat kalau disenggol sedikit, ya mati.

Aku sendiri, di atas kasurku, memberi kabar kepada beberapa orang yang mungkin bisa menemukanku kalau aku benar-benar mati beberapa saat setelah menyadari bahwa aku dekat dengan kematian. "Should I come to your room now?" ujar salah satu dari mereka yang kuberi kabar. Yang lainnya bilang "Say yes, biarkan dia datang."

Aku tidak bilang iya atau yes. Ku sediakan kabar tentang kondisiku yang kian hilang kesadaran dan minta dipastikan kalau besok aku ditemukan: dalam keadaan hidup atau mati. Saat itu tengah malam dan aku sadar itu sungguh merepotkan. 

Pada waktu yang sama, seseorang yang takut aku kalang kabut karena merasa akan mati, berlaku khawatir. Ia meminta seseorang yang lain datang ke tempatku. Orang itu tidak datang. Aku senang dia tidak datang.

Aku cair, secair-cairnya, badanku lemas selemas-lemasnya. Harapanku: aku selamat. Tidak mati akibat jantung yang berdetak terlalu kuat, lalu tiba-tiba berhenti begitu saja. Aku merasa paling hamba saat itu. Merasa bahwa aku bukan siapa-siapa tanpa kuasa. Aku benda cair.

Ucapan maaf aku lontarkan berkali-kali. 

Aku sendiri, di atas kasurku, mengabaikan pesan dari orang-orang yang kuberi kabar. Nafasku panas, badanku menggigil, tapi aku benda cair.

Esok paginya, aku ditemukan hidup. Salah satu temanku memastikannya dengan mengetuk kencang pintu kamarku. Aku hidup.

Aku pernah hampir mati saat semua orang bilang aku harusnya merasa hidup.

Apa itu mati?
Tanyaku pada 4 Mei 2021,
Afi Wiyono
Haya/Afi| 2008-2022