Nov 30, 2013

Jadi, kapan kita menjadi 'kolektif'?

"Karena orang Indonesia kurang berpikir secara kolektif, jarang ada kepercayaan antarsesama" Bapak Husin Alatas, Dosen Fisika.

Yay, selalu senang sama kelas Fisika di TPB (sejauh ini sih, hehe). Bapak Husin ini cerdas sekaliii poin plusnya adalah rupawan, kata Agnes sih.

Orang Indonesia kurang berpikir secara kolektif? Apa buktinya? Yuk coba ditelisik, dari yang kecil sampai besar, dari yang lampau sampai yang up to date.

Buang sampah sembarangan.
Biasa banget sih, selow, mayoritas melakukan gerakan buang sampah sembarangan sih, yaudah sih, kenapa emang, stereotype masalah Indonesia banget sih, mau disangkutpautin sama banjir ya, cetek banget contohnya....
Iya oke, emang biasa banget dan klasik sekali contohnya.

Kenapa sih hobi buang sampah sembarangan? Bukan hobi sih sebenarnya, ini cuman kegiatan yang sudah 'wajar', ya kan? Kita sudah terlalu larut dalam kebiasaan yang entah awalnya darimana. Padahal kalau mau tanya ke diri sendiri, hati nurani juga gak bakal mengkhianati untuk bilang buang sampah sembarangan itu benar dan bernilai positif.

Kita seolah terlalu lelah untuk masalah yang seakan besar untuk kelangsungan hidup, kayak masalah ekonomi. Padahal yang mengancam pun bukan cuma itu. Lingkungan, sob. Munafik emang sok-sok peduli lingkungan, tapi yaudah sih concern kehidupan saya emang ada di tahap sini. Beruntunglah saya ada di fase remaja menuju dewasa yang waktunya belum tersita untuk mikirin "berapa uang kah jatah makan hari ini?" Walaupun hidup di asrama sudah mulai menggiring saya ke sana.

Oh ya, kembali ke masalah se-kolektif apa sih pikiran orang Indonesia? Kalau iya kita semua, mustahil juga sih semuanya yaa minimal mayoritas deeh, sudah berfikir kolektif, pasti sungai Ciliwung gak kotor-kotor banget deh. Kalau kita peduli sama orang lain dan punya kepercayaan tinggi sama mereka, masa sih kita mau gampang membuat mereka kecewa. Ih apa sih, Fi?

Poinnya, kalau memang kita berpikir kolektif, kita akan selalu berbuat baik, seperti tidak membuang sampah sembarangan, karena kita punya dasar saling percaya sama orang lain. Kita gak akan buang sampah seenaknya karena itu bisa mengganggu orang lain dan kita percaya bahwa orang lain juga gak akan buang sampah sembarangan karena mikirin kita. Ya secara garis besar begitu deh.

Indah banget kalau Indonesia beneran begitu.

Contoh yang lebih besar apa?
Nah, akhir-akhir ini lagi ngehits banget kan antikriminalisasi dokter sampai-sampai dokter se-Indonesia mogok sebagai bentuk solidaritas. Kalau kata dosen saya, Pak Husin, ini nih bukti besar kalau kita jauh dari pola pikir kolektif.

Apa iya kalau dokter mengadakan 'hari tanpa dokter' artinya mereka solid dan menerapkan asas sama rasa? Enggak! Sama sekali gak ada asas sama rasa di sini. Ini bukti individualitas, bukan solidaritas. Siapa yang mereka bela? Hak siapa yang mereka perjuangkan? Jawabannya tentu untuk mereka dan golongannya. Individualis. Ain't heart attack can wait. Kasian pasiennya. Coba mereka mikirin apa yang dirasain sama pasien yang nyawanya udah di ujung tanduk... Huf

Solusi? Ah iya pasti berpikir kolektif harus ditegakkan. Isn't it?

Again, again, and again. Dokter cuman manusia, sama kan, sob. Yuk, sama-sama kita belajar lagi untuk tidak menjadi pribadi yang terlalu 'pribadi'.

Selamat menjadi peduli!
Afi Wiyono.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Haya/Afi| 2008-2022