Satu lagi yang bisa dicentang di wishlist liburan kali ini, jalan-jalan ke Bukit Permai. Sebut saya kurang visioner karena hal seperti itu saja masuk wishlist. Tapi Bukit Permai memang tidak pernah absen dari daftar keinginan saya selama liburan sejak saya kelas 11. Suasananya selalu sukses bikin saya ingin datang lagi sih. Bisa saja sih datang setiap hari, toh perumahan ini sangat dekat dari rumah saya. Ah, tapi kalau keseringan, hal-hal seperti itu akan terkikis keistimewaannya.
Ayo, lari pagi.
****
Halo, aku rindu deh sama kamu. Kamu, sesuatu yang sebenarnya nggak pernah jadi milikku. Aku tahu kamu juga dari cerita orang. Sedikit banyak orang tuaku juga mengenalmu baik. Katanya, aku harus tegur sapa sama kamu. Kita dekat, kalau diukur dengan jarak. Tapi rasanya hati ini nggak pernah peka untuk sedikit saja tertarik sama kamu. Pikiranku juga sibuk sama yang jauh-jauh, nggak pernah sekali pun terbersit tentang kamu.
Hari itu datang juga ya, akhirnya.
Mama memaksaku. Memaksaku yang masih lelah karena kegiatan olah badan yang jarang aku lakukan untuk mendekatimu. Mengenalmu lebih dekat. Daripada kena omel, aku nurut saja.
Aku menolak saat Mama meminta Ayah mendampingiku. Memangnya aku sepayah apa sih untuk berkenalan sama kamu?
"Nggak usah ditemenin, Dedek bisa sendiri," ucapku sambil membawa buah tangan.
Mama masih bercuap-cuap, bertutur cara yang tepat mendekatimu. Ah, aku kan sudah 18 tahun. Kecerdasan interpersonalku juga lumayan, aku suka berinteraksi.
"Hati-hati kena getahnya, Dek," ucap Ayah yang akhirnya mundur, mengurungkan niat turut serta bersamaku.
Huf, mengenaskan. Aku nggak sepayah itu juga kali!
Beberapa menit saja, sesingkat itu. Aku pikir sudah cukup untuk sekedar tahu. Ya sudah, aku kembali ke rumah. Sambil menyerahkan apa yang diminta Mama dari dirimu. Lalu Mama protes.
"Mana bisa kalau robek-robek begini? Terlalu sedikit juga, sana balik lagi!" Ujar Mama saat melihat daun pisang yang kuambil di kebun dekat rumah.
Aku payah. Aku kembali lagi deh. Cari-cari kamu, daun pisang yang kondisinya bagus, yang gampang dipotong. Aku, si Sok Tahu, belum pernah sekali pun memilih daun pisang sendiri, memotong apalagi. Berbeda dengan Ayah yang dulu sering melakukannya.
"Yah, sial," ucapku sedikit kesal saat getah keluar, menempel di pisau dan tanganku. Sepertinya aku gagal. Ternyata aku 'sepayah' itu.
Tidak. Tidak sampai di situ, pahlawanku datang. Mpok Ni datang tepat waktu. "Ngapain, Dek? Sini aku aja," ujar Mpok lalu melangsungkan aksinya memilih daun pisang dengan sangat cerdas. Mpok curang, pilih daun pisang yang masih muda, yang kondisinya sangat baik, belum robek-robek. Aku pikir yang seperti itu nggak boleh diambil.
Unfortunately, I will love you endlessly, Mpok.
****
Jadi, begitulah kisah saya yang habis lari pagi dan Mama yang minta daun pisang untuk pepes jamur tanpa garam khusus untuk Ayah yang sedang kena darah tinggi.
Si orang yang kecerdasan naturalnya rendah,
Si kurang pengalaman dalam berinteraksi dengan alam,
Si manusia yang butuh banyak belajar,
Afi Wiyono
Bukankah mempelajari alam adalah salah satu bentuk syukur kita kepada Tuhan?
****
Jadi, begitulah kisah saya yang habis lari pagi dan Mama yang minta daun pisang untuk pepes jamur tanpa garam khusus untuk Ayah yang sedang kena darah tinggi.
Si orang yang kecerdasan naturalnya rendah,
Si kurang pengalaman dalam berinteraksi dengan alam,
Si manusia yang butuh banyak belajar,
Afi Wiyono
Bukankah mempelajari alam adalah salah satu bentuk syukur kita kepada Tuhan?