Dec 7, 2014

Pelanggan Pertama

Sore itu kita menyisihkan waktu sebarang tiga jam. Aku lupa bagaimana kita habiskan menit demi menitnya. Mungkin kita tertawa lepas di ruang tamu rumahku. Lalu, ibuku menyuruhku memanaskan air untuk teh hangat sore itu. Gerimis kah saat itu? Aku lupa dan siapa yang mau ingat sedetail itu. Adikmu yang mulai berat suaranya dan penuh jerawat wajahnya juga ada pada sore itu. Sudah terlalu lama kita terlanjur hampir dewasa. Padahal kita tahu permainan boneka selalu mengasyikkan.

Aku lupa, sungguh, lupa apa yang telah membuatku menyetujui dan mengiyakan permintaanmu agar aku bermalam di rumah tetua kita. Saat itu 1 Januari, kan? Kita tidak peduli berapa banyak kembang api yang kita habiskan karena kita tidak membakar satu pun. Ibuku tidak suka. Ibumu ikut saja apa kata ibuku. Lalu, aku ikut ke rumahmu, bermalam di sana dengan catatan bangun sebelum adzan shubuh berkumandang. Dua Januari dua ribu dua belas akan punya cerita untuk kita. Semacam petualangan untukku, kamu, dan adikmu. Senang!

Kita masuk ke dalam mobil Kijang dengan mata sayu karena belum cukup tidur. Maklumlah, kita sudah lama tidak berbagi waktu untuk cerita mengenai apa pun--yang sebagian besar tentang romansa di sekolah--hingga larut malam. Ayahmu bilang kita boleh tidur sebentar hingga kita sampai tujuan. Aku tidak jawab apa pun, melanjutkan tidur pun tidak. Aku diam saja dan kamu tertidur saat kita melewati baliho besar bergambarkan es krim vanilla yang dilapisi coklat. Pleasure seeker. Iya, kata itu selalu membuat kita membayangkan hal yang tidak-tidak, bukan begitu? Kamu yang mulai. Padahal aku polos.

Sampai. Kita sampai di Jakarta Utara. Ibumu pamit dan minta dijemput pukul tujuh belas. Baiklah, aku ikut saja bagaimana hari ini akan berjalan. Aku, kamu, adikmu, dan ayahmu berbincang sebentar di dalam mobil dengan kaca jendela sedikit terbuka dan mesin yang dimatikan. Ayahmu lelah juga karena harus berangkat sepagi itu. Katanya sih sudah biasa, lebih baik berangkat sangat pagi dibandingkan harus berpayah-payah menghadapi kepadatan lalu lintas Jakarta. Kita berbincang sedikit. Adikmu memang pendiam sedari dulu. Kini pun bisa dihitung berapa banyak kata yang dia ucapkan kepadaku dalam satu kali pertemuan.

(SUmber: wikimapia.org)



Saat itu hampir pukul tujuh pagi, kamu mengeluh ingin makan. Aku juga lapar tetapi jam biologisku menyuruhku untuk tidak dahulu makan. Ayahmu mulai menyalakan mesin mobilnya dan kita keluar pelataran kantor ibumu. Dilanjutkan mencari santapan yang bersahabat untuk perut pada dua januari pukul tujuh pagi. Kita masuk ke pelataran kantor pos pusat ibukota. Ada patung di depannya, patung siapa kah itu? Aku tidak tahu. Yang aku tahu saat itu jam biologisku datang. Berbeda dengan jam biologismu yang juga datang, kamu lapar. Aku tidak.

Akhirnya kita turun dari mobil lalu bergerak ke kantin terdekat. Ayahmu menawarkanku telur di lontong cap gomehku dan aku katakan tidak, terima kasih. Aku tidak berniat makan banyak. Perutku sakit. Kamu makan dengan lahap, adikmu makannya memang sulit dan dia sangat pemilih. Itu urusan ayahmu. Setelah menyantap satu porsi lontong cap gomeh, kamu pesan es teh dalam kemasan dan bertanya apakah aku juga mau. Mau tidak mau kamu pasti akan pesankan satu botol untukku, tipikalmu.

Akhirnya aku utarakan kepadamu bahwa aku butuh toilet. Kamu pasi mengerti dan bilang akan ikut bersamaku. Demi Tuhan, aku tidak tahu harus kemana. Ungkapan yang menyatakan bahwa perut adalah otak kedua mungkin sepenuhnya benar. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Akhirnya kita mulai menyusuri pelataran gedung kantor pos yang tersohor itu. Gedungnya besar, interiornya lampau, agak tidak terawat atau perawatan yang dilakukan selama ini kurang maksimal. Auranya kurang mengenakkan. Ada banyak pintu yang kita lewati tapi pintu-pintu itu seakan tidak akan menghantarkan kita ke dalam gedung. Terkunci.

Dari kejauhan, akhirnya kita temukan ada barisan orang depan pintu. Bukan seperti barisan antrean. Barisan itu lebih seperti orang-orang yang berdiri secara seri. Pakaian mereka rapi. Lalu kita bergegas menuju ke barisan tersebut dan benarlah! Pintu terbuka lebar. Saat orang-orang itu melihat kita, wajah mereka merona, matanya riang, bibirnya tersenyum. Kita tidak peduli, aku anggap itu sebuah keramahtamahan. Sampai akhirnya mereka berlaku terlalu ramah dan salah satu dari mereka berteriak lantang,
"SELAMAT DATANG, PELANGGAN SETIA KANTOR POS INDONESIA!!"

Wow.

Meriah.

Semua tersenyum dan bersorak gembira.
Seorang pria dengan alat pengencang suara dan seorang wanita dengan tampah berisi kue jajanan pasar menghampiri aku dan kamu. Kamu mulai tidak yakin untuk melanjutkan langkah kita menuju tempat yang paling kubutuhkan saat itu, toilet. Kamu bilang kita seperti salah tempat.

Kamu tahu apa? Aku tidak peduli. Aku butuh toilet.
Aku bilang kita harus lanjutkan. Tiba-tiba aku disodori mikrofon nirkabel.

"SELAMAT DAN TERIMA KASIH SUDAH MENJADI PELANGGAN SETIA KAMI, MBAK!" ujar seorang pria yang menyeringai."Silakan cicipi kue yang ada di sini," tampah, dia berbicara tentang kue yang ada ditampah. "Anda berdua menjadi pelanggan pertama kami di tahun 2012!!"

Wow. Pantas meriah. Tapi aku masih sakit perut.

"Kalau boleh tahu, jasa apa yang akan Anda gunakan hari ini?" penasaran sekali kah mereka? Semua mata yang ada di ruangan itu tentu menyorot kita, aku dan kamu. Lalu kita diam sejenak. Namun, otak keduaku mulai bekerja.
"Maaf, Mas. Toiletnya ada di sebelah mana? Saya butuh ke toilet"

Hening sejenak dan selanjutnya gelak tawa terdengar menggema di dalam ruangan. "Ooooh jadi butuh ke toilet, silakan silakan ada di sebelah sana!"dia menunjuk arah. Tawa masih terdengar. AKu merasa tidak enak hati. Aku mungkin telah membuat orang-orang yang memberikan jasa pelayanan pos dengan dedikasi tinggi ini kecewa. Ada ya yang ke kantor pos hanya untuk ke toilet? Terlebih aku dan kamu ini pelanggan  pertama di tahun baru. Seharusnya kita menjadi totem pro parte dari pelanggan lainnya selama setahun ke depan.

Lalu aku berterima kasih. Terima kasih untuk sambutannya, terima kasih untuk kue yang berisikan kacang hijau. terima kasih  untuk tas berisi pernak pernik pos indonesia, yang terpenting, terima kasih untuk penunjuk arah toiletnya. Aku bahagia. Hari itu, kita tertawa lepas karena bertingkah kurang berkelas. Ya tidak apa-apa, mengesankan.
Kita sempatkan diri untuk berpose di depan patung pagi itu.

Terima kasih juga untuk kamu. Hari itu menyenangkan sekali.


Yang sedang rindu dengan kamu,
Afi Wiyono


p.s ini kisah nyata yang sejak lama ingin ditulis. Akhirnya terselesaikan. Kamu tahu kenapa ini bisa selesai? Karena aku rindu kamu makanya aku bertolak ke masa-masa saat kita bersama dan memutuskan untuk menulis kisah ini.
Haya/Afi| 2008-2022