Mar 14, 2016

Surat Sumbang

Kepada, Mimpi.
Perlu diingat bahwa kita terikat. Hal lain yang tak kalah penting ialah bahwa kita terpaut jarak.
Dalam beberapa langkah, kita masih akan berjarak. Lekat dalam ingatanku saat sosok-sosok pintar menyampaikan fakta empiris tentang besaran skalar yang melegenda ini. Seberapa besar ia dinyatakan dalam unit tertentu, ia bisa ditempuh. Harus kusampaikan bahwa ia terdiri dari waktu dan kecepatan. Akselerasi pun ikut ambil andil. Janjiku, kujemput kau. Dalam usaha dengan kecepatan konstan, beberapa kali akselerasi, tanpa menafikkan rehat yang memakan waktu namun tak mengurangi jarak kita. Aku sendiri menjemputmu, kuharap kau memaknai rehatku sebagai hal yang wajar. Kurasa itu manusiawi.


Duhai, Mimpi.
Ada waktunya aku berpikir kita lekat, tanpa jarak.
Bahwa baik dan buruk adalah dua dari masih banyak kata sifat yang layak kita terjang dalam menempuh perjalanan. Jika kita terkesima dengan mesranya subjek lain dengan kawanmu, itu tak berarti apa pun, Sayang. Bahwa bisa jadi ia pemanis perjalanan kita. Ia panorama, ia menimbulkan kesan. Psikis kita diuji, bisa jadi kita bergelora tanpa menutup kemungkinan kita justru lelah karena tidak kunjung ada di destinasi. Yang sampai kini tak kupahami, ialah destinasi itu sendiri. Jika kita bersama, kemana kah kita melaju? Adakah sesuatu yang lebih kuinginkan daripada keberadaanmu sendiri?


Dalam sumbangnya tulisan ini, ku kehendaki bahwa ia sebuah surat. Jika kita berjarak, ingin kukirimkan surat ini padamu tanpa harus memakan waktu banyak. Surat ini kujanjikan sampai dalam waktu sesingkatnya dengan jarak sejauh apa pun padamu. Jika kita lekat, aku rasa kita menulisnya bersama.


Lalu, gemamu entah ada dimana.


Bangun.
Aku bermimpi.

Haya/Afi| 2008-2022