Oct 5, 2017

Saya dan Wedang Jahe Ingin Cerita

Hari ini saya pulang mepet maghrib dari laboratorium. Sebenarnya nggak ada aturan tertulis untuk pulang jam segitu. Tapi dinginnya luar ruangan dan keberadaan wifi di lab berhasil bikin saya betah.

Selain itu, baiknya Sensei juga bikin saya betah untuk sekadar duduk di lab. Sensei bulak balik ruangannya dan lab yang berseberangan untuk memastikan bahwa saya dan partner saya baik-baik saja. Setidaknya baik-baik saja bisa didefinisikan dengan adanya progres dalam laporan kami.

Sensei baik. Sensei membuat saya berpikir. "Thinking is good for you," ucapnya sambil senyum manis sekali.

Saat saya sedang bosan di kelas Evaluasi Sensori beberapa semester lalu, saya sempat menulis tentang "orang pintar". Saya menyatakan bahwa mungkin selama ini kita (saya dan mereka yang ada di lingkungan saya menjalani rutinitas) terlalu terpukau dengan keberadaan "orang pintar" di sekitar kita. Alih-alih ingin menjadi salah satunya, kita justru takut dilabeli sebagai "orang pintar". Pada akhirnya, mereka yang "orang pintar" dianggap di luar batas kewajaran.

Sementara itu, Sensei dan lingkungannya merefleksikan hal berbeda dari yang selama ini saya pikirkan. Bagi Sensei dan orang sekitarnya, menjadi "orang pintar" adalah kewajaran dan biasa saja. Semua orang wajib dan berhak menjadi "orang pintar" sehingga didorong sekaligus dihargai atas segala usahanya.

Aktivitas yang seakan tidak pantas dilakukan oleh "orang pintar" di tempat saya menjadi aktivitas yang wajar dilakukan siapa pun di tempat Sensei karena semua orang ada di radius label "orang pintar".

Ribet yah?
Dingin sekali malam ini.
Sudah malas pikir banyak.
Semoga tidak malas mikir selamanya.
Karena saya mau jadi "orang pintar" sebagai upaya mendukung gerakan mewajarkan "orang pintar". Biar apa?
Agar kita jadi mau mengoptimalkan potensi yang sudah dititipkan oleh Yang Maha Pencipta. Soalnya, sebenarnya "orang pintar" itu biasa saja.

Doh.
Bye.

Haya/Afi| 2008-2022