Feb 9, 2018

Aku baru sadar kalau aku nggak seburuk "itu" saat bernyanyi sambil diiringi piano.
.
.
.
.

Sepulang dari perantauan, salah satu yang paling aku rindukan adalah hari-hari kasual dengan kegiatan main piano a la aku. Aku nggak bisa baca partitur, aku tahu teori kunci, tapi aku bukan eksekutor yang baik. Typically me--at all cost.

Aku juga nggak terganggu sama sekali saat aku menjadi medioker dalam segala hal. Kalau ke-biasa aja tuh-an bisa membawa cukup bahkan lebih dari cukup kebaikan, kenapa harus terganggu kan?

Jadi, aku memilih baik-baik saja menjadi medioker meski dalam hal yang aku sukai. Tidak berambisi karena sekali lagi: typically me.

Sayangnya, aku kecewa saat aku tidak dapat menikmati suara dan permainan piano pertamaku sekembalinya ke rumah. Pusing sampai giung kayak habis makan permen kristal yang nggak enak itu.

"Kenapa sih, nggak sampai? Kenapa sih, nggak bisa pakai nafas perut lagi? Kenapa sih, kok jari kelingkingku jadi nafsu kalau pencet tuts hitam?" ujarku kesal berkali-kali.

Jadi, aku berhenti bermain. Menyalahkan diri karena siapa lagi sih yang patut disalahkan?
.
.
.
.
Tapi, ternyata saat pakai piano lain, aku sampai kok nyanyi di A. Bahkan di C untuk lagunya Nikka Costa. Ternyata piano rumahku yang udah melenceng bunyinya.

Jadi, bole gitu nyalahin keadaan?

ya bebas.

Haya/Afi| 2008-2022